84. Ketika Waktu Memberi Jawaban

2.1K 280 144
                                    

VAL__POV

Waktu berjalan dengan kehangatan yang mungkin terbangun karena keadaan. Namun tetap menanamkan kesetiaan.

Dan berat itu perlahan menghilang karena sebuah kebiasaan. Jika menunggu tak lagi melelahkan. Meski keraguan tetap menjadi sahabat kehidupan.

Kuseka tetesan keringat.
Tersenyum puas saat tangan ini berhasil membuat beberapa macam kue setelah menghabiskan waktu seharian.

Meksi pusing aku tetap bertahan karena ini adalah salah satu hal yang bisa membuatku membunuh rasa rindu yang berlebihan. Mengabaikan waktu yang terus berjalan.

Aku tahu.
Ini hanya sebuah pelarian.
Karena saat malam menjelang maka tetesan air mata itu tetap menganak sungai bak air terjun pegunungan.

Dan aku akan kembali gila.
Memasak apa saja yang bisa membuatku sedikit melupakan semua rasa itu. Meski pada akhirnya aku akan kembali pada titik yang sama.

Rapuh.
Anggap saja begitu.
Tapi itu kenyataan, karena pada dasarnya aku tak ingin berjuang sendirian terlalu lama.

Aku tak lagi bisa mengabaikannya.
Ataupun menganggap tak ada apa-apa karena keadaan ini menunjukkan kenyataan jika aku berbeda. Jika tubuh ini tak lagi sama.

Hem.
Aku belum sepenuhnya bisa menerima keadaanku sendiri. Namun aku tetap berusaha berjuang dan berpikir jika ini adalah keajaiban.

Hanya saja.
Pimikiran ini tetap memiliki kesederhanaan jika aku mungkin tidak normal. Meski begitu aku berusaha menjauhkan semua itu.

"Lian, yang ini bagaimana?"

Aku terkesiap.
Sadar jika sedari tadi aku melamun dan belum melakukan plating pada kue pelangi didepanku.

"Sebentar." Seruku.

Kugelengkan kepala, menjauhkan semua mimpi buruk yang kembali memenuhi kepala ini. Berharap jika aku mampu menampal semua lubang dihati.

Kuraih semua bahan plating yang ada didalam lemari pendingin. Meletakkannya di atas meja dan mulai melakukan plating dengan semua detail yang telah kurencanakan.

"Za, elu siapin gih kotaknya. Biar kalo uda kelar bisa langsung elu anterin." Seruku.

"Oke. Siap." Angguknya dan segera berjalan menuju lemari tempat menyimpanan kotak bungkus kue.

Hari ini hari sabtu.
Dan kebetulan sekolah libur jadi Kuza dan Barra memilih menghabiskan waktu libur mereka untuk menemaniku.

"Barra, berhenti makan!" Keluhku.

Karena sedari kue pertama matang hingga kue ke tujuh, Barra tidak pernah membiarkan mulutnya berhenti untuk mengunyah.

"Enak Lian. Mana bisa gua berhenti." Tolaknya.

"Elu bisa sakit perut kalau terlalu banyak makan kue manis, bangke!" Kesalku.

"Njir! Elu kagak ikhlas nih makanannya gua makan?" Protesnya.

Kuputar bola mata malas. Merapatkan rahang demi menahan mulut ini untuk tidak berteriak dan menjambak rambut jabriknya.

"Gua bilang ntar elu bisa sakit perut, combro. Bukan karena gua kagak ikhlas." Jelasku masih dengan nada kesal.

"Dan elu sedari tadi nambahin coklat mulu. Berlebihan juga kagak bagus." Terangku.

"Gua kan doyan coklat." Keukeuhnya.

Aku menghela napas.
Menghentikan kesibukan plating. Menatapnya melotot dengan tangan beralih meraih pisau.

"Oke. Gua berhenti." Seru Barra sembari menjauhkan piring kue dari hadapannya.

The Bad BoyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang