20. Festival

5K 480 29
                                    

BUMI - POV

Langit sedikit mendung namun aku berharap tak tersiram hujan karena jadwal hari ini begitu padat dan sedikit berat.

Sial!
Harapan itu tak terlaksana karena menit berikutnya rintikan hujan mulai jatuh membasahi seragam basketku.

Hari ini pertandingan final melawan sekolah SMA Nusantara. Pertandingan ini bertaraf nasional karena hampir seluruh SMA yang ada di pulau Jawa mengikuti kegiatan ini.

Aku menghela napas panjang, berusaha tetap berkonsentrasi penuh meski hujan mulai membuat seragamku basah dan mataku sedikit perih karenanya.

"Lima belas menit lagi, Mik." Alan mengingatkan. Aku mengangguk.

"Setelah ini kita pesta." Lanjut Curoz.

Aku hanya terkekeh demi mendengar ucapan Curoz, dan bergerak menepuk Wendy yang mulai kelihatan kehilangan kesabaran.

"Kita pasti menang." Seruku dan berlalu meninggalkannya.

Satu jam berlalu dengan sangat berat dan disinilah sekarang aku berakhir. Duduk didalam ruang rias dadakan dibelakang panggung acara fertival kampus.

"Untung elu nggak telat datangnya."

Aku tersenyum, menatap wajah blasteran super ganteng dari balik cermin rias yang saat ini berdiri dibelakangku dengan bersedekap dada.

Bertubuh tinggi tegap dengan bentuk tubuh yang sangat gagah, rambut panjangnya diikat berantakan. Sangat terkesan seniman.

Hidung mancung dengan mata tajam bak kucing pengintai, beralis tebal dengan bibir merah merekah serta kulit putih kemerahan yang cukup berbulu.

"Salahkan Angkasa yang seenak perutnya tanda tangan kontrak manggung tanpa lihat jadwal padat anggotanya." Seruku sembari membiarkan seorang penata rias menata rambutku sedemikian rupa.

"Astaga ternyata elu disini bang Dav." Aku mengalihkan fokus, melihat satu lagi anggota bandku yang masuk dan sudah sangat rapi.

Itu Haron Faragas, bagian keyboard. Bertubuh tinggi kurus tapi tak setinggi Qidam. Berkulit tan dengan rambut jabriknya. Berhidung mancung dengan garis wajah tampan nan tegas.

Aku sangat suka dengan matanya yang terkesan sendu. Ia beralih menatapku dan aku hanya menaikkan alis saat mata kami bertatapan.

"Masih lama?" Tanyanya.

"Bang Ron bisa lihat sendiri." Aku menatap diriku sendiri didepan cermin.

"Emang ada apa?" Tanya bang Davan.

"Kita makan dulu. Sekalian ngobrol bentar sebelum manggung." Terangnya.

"Hem, kalian duluan saja. Gua tadi sudah makan setelah selesai tanding basket. Ntar gua nyusul kalo semua ini uda beres." Ucapku.

"Elu yakin?" Tanya bang Davan.

"Santai aja. Lagian gua nggak bakal mati cuma gara-gara telat makan." Selorohku.

"Oke deh. Kalo gitu kami makan dulu." Pamit bang Davan sembari menepuk bahuku dan aku hanya mengangguk.

"Awas elu nggak nyusul!" Seru Bang Haron.

"Beres bos." Aku memberikan jempolku padanya.

Kupandangi pintu tenda yang sudah kembali ditutup, menghela napas panjang, menatap kembali wajahku didepan cermin.

"Tolong bagian depan sedikit lebih tinggi." Pintaku pada penata rias.

"Baik." Ia tersenyum mengangguk.

The Bad BoyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang