58. Just Have Fun

3K 286 157
                                    

VAL__POV

Masih tersisa sedikit ngilu dibagian bawah. Namun aku mengabaikannya. Beranjak bangun dan segera menyiapkan sarapan.

Memutuskan membuat omlet kesukaanku dengan warna-warni segar sayuran dan paprika. Menambkan sedikit jagung yang sudah kurebus.

Terkejut saat mendapati Bumi memelukku setelah aku menyapanya pagi ini. Melihat rambut berantakannya khas bangun tidur.

Entahlah, perasaanku dari semalam terasa begitu berat seolah aku menyimpan sesuatu yang tak seharusnya kusimpan.

Hatiku bergerak dengan perasaan yang aneh. Ada gelisah dan kekalutan seolah aku akan kehilangan atau ditinggalkan. Atau aku sedang mengalami trauma paska making love.

Sialan!
Kenapa jadi ngelantur begini sih. Hanya saja aku ingin melakukan banyak hal dengannya. Seolah memberi waktu untuk kami berdua menyimpan banyak hal menarik sebelum tragedi.

Damm it!
Ini berlebihan. Aku jadi paranoid karena pernah terabaikan dan itu sangat melelahkan karena hatiku bermain didalamnya.

"Ayo!"

Suara Bumi menyadarkanku dari lamunan. Melihatnya telah rapi dengan seragam sekolahnya. Lagi-lagi aku tersenyum menatap penampilannya.

Jujur, dia sangat tampan dengan rambut sedikit panjangnya. Jauh terkesan lebih dewasa dari sebelumnya.

"Kita naik mobil saja." Terangnya.

Aku mengangguk. Mengikuti semua kemauannya. Toh langit pagi terlihat mendung dan mengendarai mobil adalah pilihan terbaik.

Waktu berjalan dengan berat. Itu yang kurasakan saat tak ada hal yang bisa membuat hatiku yang gelisah ini tenang. Dan itu menyebalkan.

Bahkan saat ini aku lebih memilih duduk sendirian di perpustakaan saat Bumi sibuk dengan persiapan latihan ujian untuk masuk perguruan tinggi.

"Kenapa melamun?"

Aku terkesiap, sedikit terkejut ketika mendapati bang Qidam duduk dikursi depanku dengan bersendaku tangan. Menatapku dengan kening berkerut.

"Ih, bang Idam ma ngagetin aja." Keluhku sembari mengelus dada.

"Tumben anteng di perpus kan biasanya jam segini elu di klub seni." Terangnya.

Kulirik buku yang sedang dipegangnya. Sebuah buku yang dari judulnya menjelaskan tentang paham ideologi dan pola pikir sederhana.

"Lagi nggak ada inspirasi." Jawabku sekenanya.

"Dari muka elu itu ma kayak ibu rumah tangga yang lagi banyak beban mikirin tanggungan yang belum lunas." Selorohnya.

Aku terkekeh, sedikit terhibur dengan bacotan itu. Diam saat melihat bang Qidam tersenyum begitu tulus masih dengan bertopang dagu menatapku intens.

Aku menelan ludah melihat sikapnya itu. Sesuatu yang jarang kulihat. Kali ini wajah itu sedikit berbeda dari biasanya. Aku dibuatnya tak bisa berkata-kata.

Detik berikutnya ia menyentil keningku. Membuatku cemberut karena kesal. Namun tak mengubah ekspresinya yang menatapku intens.

"Jangan disimpan sendiri. Katakan saja apa yang ngebuat elu terlihat begitu gelisah dan tak nyaman." Terangnya.

Suaranya terdengar begitu lembut dan kalem. Hal yang membuatku selalu nyaman saat bersamanya. Seolah aku memiliki kakak laki-laki.

"Gua rasa Bianca dan Sastra yang ngasih tahu elu." Selidikku.

"Karena mereka peduli sama elu." Serunya lagi.

"Payah." Gumamku lirih.

"Mereka sahabat elu. Meski elu nggak ngasih tau mereka, mereka bakal tetap tahu kalo elu ada masalah." Terangnya lagi.

The Bad BoyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang