BUMI-POV
Langit mendung, kesedihan seakan menghiasi setiap hembusan anginnya yang bergerak lembut. Menghadirkan hawa dingin yang sedikit menusuk.
Mata tajamku menengadah, duduk manis diatas motor kesayangan. Membiarkan angin mempermainkan rambut sedikit panjang ini.
Minggu yang tak bersahabat, tapi aku harus tetap menekuri kegiatan pasti setiap akhir pekan.
"Tuhan kayaknya paham bener kalau gua lagi galau." Gumamku sembari mengenakan helm.
Motor gede ini melaju menyusuri jalan raya, mengaung dengan gagah, berkecepatan sedikit luar biasa.
Satu jam berlalu bersama kemacetan ibu kota. Aku memarkir motor tak jauh dari sebuah gedung berlantai lima.
Beberapa anggota komunitas terlihat memasuki gedung. Ini adalah kelompok terlamaku dibidang kepedulian sosial.
Hari ini kami berencana untuk mengunjungi tempat yang beberapa hari lalu dilanda banjir bandang.
"Mik?!" Aku sedikit menaikkan pandanganku menuju sang sumber suara.
Dan disana, aku melihat sang ketua komunitas sedang berdiri tepat diberanda depan gedung dengan seragam komunitas lengkap dengan pita yang terikat dilengan kirinya.
Berbadan tinggi dengan bentuk tubuh pas, berkulit sawo matang, rambut panjangnya terikat klasik. Membuatnya begitu terlihat seperti pria sejati.
"Pagi Bang Jo!" Sapaku melambaikan tangan. Segera turun dari motor. Tak lupa mencabut kunci.
Kulangkahkan kakiku mendekat, memperpendek jarak dengannya. Berpelukan sebentar sembari saling menepuk bahu.
"Bagaimana persiapannya?" Tanyaku saat kami berjalan masuk.
Kulihat semua orang sudah sibuk menyusun sembako, baju-baju bekas yang masih layak pakai didalam kardus sedang dipindahkan kemobil box.
Beberapa anak lain juga sibuk menata obat-obatan, selimut dan beberapa kasur dari penyandang dana komunitas ini.
"Semuanya berjalan sesuai rencana. Cuma beberapa tim terpaksa kami ubah." Aku mengangguk mengerti.
"Dan maaf elu harus gua pindahin ke tim penyelamat. Ngebantu tim SAR untuk cek korban yang belum dievakusi." Terangnya.
"Santai aja bang Jo. Gua ma dipindah kemana aja siap asal tidak kebagian dapur aja. Yang ada gua bukan ngebantu ntar, malah ngerusak." Seruku.
Bang Jo tertawa, menggeleng mendengar kelakarku yang sebenarnya aku serius. Nggak mungkin kan aku dibagian logistik yang ngebantu nyiapin makanan didapur pengungsian.
"Ya uda, elu gabung sama anak-anak lapangan sana. Gua mau cek semua persiapan sebelum berangkat. Berabe kalo belum lengkap."
Bang Jo menepuk bahuku yang kujawab dengan sebuah anggukan sebelum aku melangkah menuju anak lapangan dan sebelum dia pergi kebagian logistik.
Butuh waktu hampir tiga jam untuk sampai kelokasi tujuan. Sepuluh menit berikutnya aku bersama sembilan rekanku langsung bergabung dengan anggota tim SAR.
Jiwa sosialku langsung naik keubun-ubun saat melihat pemandangan dilokasi. Rumah warga yang tenggelam dan sebagian rusak karena tekanan arus.
Rasanya aku memang harus menghargai harta yang aku punya. Kemewahan sejak aku orok dan semua kemudahan yang aku peroleh. Ibarat kata tinggal ucap semua kesampaian.
"Kalo situasinya kayak gini ma wajar jika banyak korban meninggal akibat kebawa arus dan tertindih material rumah yang ambruk."
Suara Haikal memecah lamunanku, menghentikan kesibukanku bergulat dengan batinku sendiri, mengangguk setuju dengan ucapannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Bad Boy
Teen FictionWARNING! [DISINI KALIAN BAKAL SAKAU DENGAN LAGU-LAGU WESTLIFE] Bagaimana rasanya saat berurusan dengan manusia terburuk disekolah? Dunia seperti berhenti berputar bahkan mungkin hidupmu terancam tak akan pernah tahu apa itu bahagia ketika manusia pa...