16 Tanda-tanda

5.9K 490 13
                                    

BUMI-POV

Duk duk dast!
Duk duk dast!
Kami sedang latihan basket dan itu terhitung dari sejam yang lalu.

Seminggu lagi kami tanding dengan sekolah unggulan dari Jakarta Barat. Pertandingan persahabatan dan itu tepat dihari ulang tahun anak ayam.

"Mik, ini uda sebulan elu jadi jomblo akut." Ucap Alan saat ia melempar bola kedalam ring.

"Dast!" Bola masuk. Aku bergerak mengambil bola itu.

"Tumben amat elu betah." Lanjutnya.

"Kayaknya kawan kita yang satu ini nggak peka." Sindir Curoz yang berhasil merebut bola dari tanganku.

Alan menaikkan sebelah alisnya tak paham. Ia menerima bola yang dioper Curoz padanya dan berakhir menatapku tak mengerti.

"Masak elu nggak tahu?" Kali ini Zoid yang bersuara.

Ia bergerak disampingku, memblok pergerakan Alan dan detik berikutnya aku mengambil bola dari tangannya dan segera berlari menuju ring basket.

"Dast!" Bola masuk dengan sempurna.

"Kayaknya gua ngelewatin sesuatu nih." Serunya penasaran.

"Dasar elunya aja yang kurang peka." Zoid kembali bersuara.

"Tunggu, kok gua mulu yang dicecer sih?" Protesnya.

Alan memang satu-satunya bocah yang kurang peduli sekitar. Dan bahkan ia hampir cuek bebek saat ada yang memakinya. Dianggapnya angin lalu.

Ia hanya salah masuk kedalam genk kami yang berhasil menjadi anak urakan pula yang suka membantu temannya dalam berantem.

Sebenarnya dari semua genku, Alan termasuk memiliki hati yang paling lembut. Dan si biang kerok usil itu adalah Henry namun dia yang paling peka dari semuanya.

Kulirik Wendy yang sedari tadi hanya diam. Ia lebih sibuk bergerak mengikuti kemana bola bergerak. Tugasnya saat ini adalah memperhatikan permainan dan mencari kelemahan lawan.

Aku tahu, tuh bocah juga menginginkan Vallian Brata. Seperti yang diucapkan Angkasa padaku. Membuatku teringat dengan kejadian sebelumnya.

Aku menghela napas, "Latihan selesai." Ucapku.

Kali ini aku yang menentukan porsi latihan sebagai pengawas latihan basket karena guru pembimbing basket kami sedang rapat osis, beliau juga pembina osis.

"Parah elu, Lan." Henry merangkul Alan yang penuh dengan peluh.

"Sumpah, gua beneran nggak paham nih. Galfok gua." Ia mengibaskan seragam basketnya yang lengket karena keringat.

"Coba elu ingat waktu kita pesta abis menang pertandingan tiga minggu yang lalu." Saran Sastra yang sedari tadi sibuk dengan dunianya sendiri.

Ia mengambil air minum dari dalam tas, aku menangkapnya dengan sigap saat Sastra melemparkannya padaku. Anehnya Alan terlihat sedang memikirkan ucapan Sastra.

Aku tersenyum tipis saat ia menyemburkan air dari dalam mulutnya. Berakhir menatapku dengan mata melotot yang minta digaplok.

Tampang kagetnya terlalu polos yang dengan senang hati membuatku ingin menimpuk mukanya pake bola basket. Sumpah tuh tuyul emang sesuatu banget.

"Vallian?!" Pekiknya sembari menelan ludah susah payah.

"Hem." Gumamku.

"Elu gila?!" Kagetnya.

"Cinta nggak mandang bulu." Jawabku.

"Yang ada cinta bikin elu buta." Seru Curoz.

"Cinta itu ibarat tai rasa coklat." Kali ini Zoid menimpali.

The Bad BoyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang