69. Feeling

2.2K 233 254
                                    

VAL__POV

Udara panas makin meluap memenuhi ubun-ubun dan aku sudah menghabiskan tiga botol air mineral dingin dengan tiga pasang mata yang menatapku intens.

Kuza, Sastra dan Bianca, mata-mata itu menatap tak berkedip. Aku masih sakau karena sebuah kata "Menyesal" akibat mulut laknat ini.

"Lian, elu baik-baik aja kan?" Mata itu menatapku khawatir.

"Elu bisa kembung ntar." Seru Bianca.

Sekali lagi aku menghela napas, menatap mereka dengan wajah memelas dan berakhir hendak menangis saat kembali teringat ucapanku kepada orang tua iblis buluk.

"Gua nggak nyangka sih kalo elu bisa ngomong kek begitu." Kekeh Sastra.

Aku langsung luruh, menempelkan wajahku dimeja gazebo sekolah. Berharap semoga kepala ini cepat melupakan semua mimpi buruk ini.

Kegiatan ektrakurikuler tetap berjalan meski kami libur sekolah. Saat ini Kuza resmi menjadi ketua klub Seni dan Sastra menjadi ketua klub Taekwondo. Aku sendiri bertahan di tim kesehatan.

"Begitu tuh kalo mulut diamplas mulu." Sindir Kuza.

"Tapi menurut gua sih elu emang kudu bilang kek begitu biar orang tua kak Bumi bisa mikir." Setuju Bianca.

"Kadang orang dewasa emang kudu diingetin biar mereka kagak lupa jika mereka juga pernah remaja." Imbuh Sastra.

"Gua sih kagak yakin. Nggak semua orang dewasa bisa berpikir bijaksana saat harga diri dan ego dijunjung tinggi." Seru Kuza.

"Ah, pusing gua." Keluhku.

Puk!
Sebuah tepukan membuatku berjingkat kaget. Menemukan Barra yang berdiri dibelakangku dan jangan lupakan gerombolan anak musik dibelakangnya.

"Dicariin ternyata disini." Serunya.

"Apaan?" Protesku kesal karena dikagetin.

"Ketimbang bete begitu mendingan gabung ma kita-kita." Seru Juan.

"Gua ikutan!" Pekik Bianca antusias.

"Kita kumpul di taman sekolah aja. Lebih luas." Barra menunjuk kearah rerumputan yang dipadati anak Seni.

Anak seni sedang latihan melukis dengan menyalurkan inspirasi abstrak dari benak mereka. Dan udara sejuk akan membantu mengalirkan imajinasi dan inspirasi.

"Boleh juga tuh." Sastra mengangguk setuju.

"Oke deh. Kita berbaur." Mantap Kuza bangkit berdiri dan mengikuti kumpulan anak musik yang melenggang pergi.

"Lian?" Panggil Barra padaku.

Aku menghela napas, menatap Barra cemberut. Mengulurkan kedua tanganku padanya. Menatap sahabatku itu manja.

"Apaan?" Sebelah alisnya naik.

"Gendong." Rengekku.

"Njir! Lu segede gitu minta gendong?" Kagetnya.

"Gede elu juga!" Kesalku.

Barra menghela napas menyerah. Memberikan punggungnya padaku dengan berjongkok. Aku tersenyum senang.

Tak butuh waktu lama, dengan cepat aku nemplok di punggungnya. Melingkarkan tangan dilehernya, membiarkan Barra membawaku dengan mulut ngedumel.

"Uda gede juga masih aja lu manja ma gua." Omelnya.

"Kan udah enam tahun lebih gua kagak manja sama elu." Seruku.

"Bacot aja! Kalo punggung gua encok gimana?" Protesnya lagi.

The Bad BoyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang