88. Sebuah Akhir

3.7K 320 207
                                    

BUMI__POV

Langit senja berganti malam. Lampu perkotaan pun memancarkan pendaran temaramnya. Menepis gelap sebagai pemandu malam.

Dan sang malam tergambar cerah.
Bintang berhamburan memenuhi setiap ruang malam yang menjadi sahabat kehangatan.

Aku menghela napas.
Mobil tak kunjung bergerak. Kami terjebak kemacetan ibu kota yang cukup menyebalkan.

"Nih makin lama negara makin kacau kalau kayak gini mulu." Kesal anak ayam.

Biasanya dia yang penyabar. Kali ini malah sebaliknya. Aku yang terkesan santai karena anak ayam bersamaku. Meski lama bakal tetap aku jabani. Yang penting adalah kebersamaan kami.

"Ini gara-gara kamu. Coba tadi nggak main dulu pasti kita nggak kejebak macet kek begini." Celetuk anak ayam.

Anjir!
Gara-gara aku?!
Siapa coba yang tadi menggoda dan merayuku saat mandi?
Nih bocah sesuatu sekali.

"Mainnya nggak cuma sekali lagi." Ia makin protes.

Aku hanya menggeleng.
Memilih menatap kendaraan yang ada disampingku. Yang sama-sama menunggu kapan mobil bisa dijalankan.

"Sueg! Lama bener sih." Keluhnya lagi.

Kupejamkan mata.
Menyandarkan kepala pada sandaran kursi. Dan telinga ini tetap mendengarkan ocehan tak jelas anak ayam.

"Sabar Val." Seruku kalem.

Dua jam.
Kami akhirnya bernapas lega saat jalanan yang kami lewati sudah mulai lenggang. Aku memutar kemudi menuju sebuah perumahan mewah.

Rasanya berat.
Tapi aku tetap harus menapakkan kaki disana. Memastikan jika segalanya akan segera berakhir.

Jujur.
Aku lelah bersitegang dan berseteru terus dengan mereka. Semua itu membuat hidupku tak tenang dan terasa dihantui.

Aku menginginkan kedamaian.
Menikmati waktu bersama keluarga kecilku sendiri. Berjuang bersama tanpa memikirkan sebuah ancaman akan ketidak bahagiaan.

"Kita masuk?" Tanyaku setelah menghela napas panjang.

"Kenapa banyak kendaraan?" Tanya Anak ayam sembari mata itu mengedar.

Aku mengikuti, mengedarkan pandangan menatap halaman rumah Pramana. Mendapati kumpulan mobil mewah terpakir rapi.

"Hem." Setujuku.

Aku menelan ludah.
Berharap mereka tidak merencanakan sesuatu padaku dan Vallian Brata.

Sebagian besar yang terparkir adalah kendaraan kolega papa dan mama. Jika mereka sedang berkumpul seperti ini seharusnya bang Viza tahu.

Kosong.
Mataku kembali mengedar dan tidak menemukan kendaraan bang Viza atau perwakilan dari pihak Baladraf.

"Sebenarnya ada apa ini?" Tanyaku dalam hati.

Ini aneh.
Semua kolega perusahaan tahu jika pemegang saham utama Pramana grup adalah bang Viza. Papa hanya Pemilik sah Sayota corp. Salah satu anak perusahaan Pramana group.

"Gua harap papa nggak bikin masalah lagi." Keluhku dalam hati sembari menggandeng tangan Vallian, menuntunnya masuk kedalam rumah.

Sepi.
Tak ada siapapun.
Dan itu semakin membuatku curiga ketika melihat Langi mengenakan gaun yang bagus dan sedang menungguku.

"Elu lama bener, kak." Protes Langi menghampiriku.

"Macet." Jawabku seadanya.

"Kakak masuk aja, papa sama mama udah nungguin kakak diruang kerjanya." Terangnya.

The Bad BoyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang