33. Galau

4.1K 375 62
                                    

BUMI--POV

Waktu berputar kedepan, mengikuti alur yang merambat melewati batasan yang semestinya. Pusaran itu tak tersentuh kecuali waktu yang menyapanya.

Hari terakhir, rasanya waktu bergerak terlalu cepat. Bahkan batasannya mulai menipis mengikis kebersamaan.

Aku hanya menghela napas, menatap lurus deburan ombak yang pasang dan surut. Tersenyum tipis mengingat semua hal tentang Vallian.

"Kok melo begini."

Aku menoleh, mengikuti gerakan Henry yang duduk disampingku. Wajahnya tak kalah kusutnya denganku. Memaksaku memicingkan mata.

"Napa lu?" Tanyaku.

"Elu yang kenapa?" Ia balik bertanya.

"Cerita, gua bakal jadi pendengar setia kali ini." Aku membenarkan posisi duduk, mengabaikan pertanyaannya.

"Gimana caranya ngelupain orang?" Tanyanya. Wajahnya terkesan pasrah.

"Pertanyaan gampang." Jawabku. Kali ini kujulurkan kaki, menjadikan kedua lenganku sebagai tumpuhan badan.

"Siapa?" Tanyaku.

Henry menghela napas, menatapku penuh dengan keraguan. Aku hanya menunggu, memasang wajah biasa agar membuat Henry nyaman berbagi.

"Panji tengkorak." Jawabnya.

Aku terkekeh, menggeleng demi mendengar jawaban Henry. Jika tak melihat wajahnya yang ingin disetrika mungkin tanganku sudah melayang menggeplak kepalanya.

"Ya nggak usa dipikirin ntar juga lupa sendiri." Seruku.

"Sueg! Kalo cuma gitu doank gua juga tahu." Muntapnya.

Aku menghela napas, detik berikutnya suasana kembali sunyi. Memikirkan pertanyaan Henry dengan seksama. Karena aku pernah ada pada kondisi itu.

"Hen." Panggilku lirih.

"Hem." Gumamnya pelan.

Mata kami sibuk menatap deburan ombak, menjauh dari keramaian. Sedikit berdamai dengan hati yang butuh perhatian.

"Saat otak kita sibuk memikirkan cara untuk membuang ingatan kita terhadap seseorang, sebenarnya itu malah membuat kita semakin dalam memikirkannya." Terangku.

Kutekuri setiap gerakan ombak, kali ini riaknya lebih tinggi bahkan deburannya terdengar sangat jelas. Seakan memaparkan sebuah keteguhan.

"Saran gua, sebaiknya elu ikuti kata hati elu. Karena percuma melarikan diri. Perasaan itu berbeda dengan kenyataan." Lanjutku.

"Bahkan jika itu terkesan mustahil?" Suaranya tetap lirih.

"Hem. Semakin elu nyangkal, tuh makhluk bakal ngehantuin elu sampek bangkotan. Jadi mending elu ikutin alurnya. Siapa tahu elu nemu kebahagian dari situ." Nasehatku.

"Hem. Mungkin harus begitu. gua lelah melarikan diri akhir-akhir ini." Terangnya.

"Tenang aja. Gua bakal kasih tahu elu gimana caranya menaklukkan Sastra Hasibuan." Godaku.

"Njing!" Umpatnya.

"Itu uda kelihat jelas dari muka elu, Hen." Aku menggeleng, tersenyum tipis.

"Yakin lu?" Serunya naik satu oktaf. Sikap paniknya sungguh terlihat lucu.

"Hem." Anggukku. "Tapi sayang sobat gua satu itu masih lurus. Elu bakal rada alot buat dia jatuh sama elu." Lanjutku.

"Jangan harap dia lolos dari gua. Semua ini juga ulahnya. Dia yang nanam jadi dia pula yang akan panen." Henry tersenyum iblis.

"Gua suka kalimat elu." Kutepuk bahunya. "Gua doain lancar." Seruku.

The Bad BoyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang