34. Moss

3.7K 361 23
                                    

BUMI--POV

Senin beranjak mendekat, bahkan pagi hampir menghilang. Terpaksa Sastra sebagai wakil menggantikanku dipembukaan moss. Dan aku masih duduk manis diruang rapat.

Menyebalkan!
Aku tidak pernah memikirkan semua ini akan terjadi. Rasanya sangat ingin sekali mengumpat dengan dramastis.

Tapi sial!
Semua orang didepanku berdasi dan mungkin berpendidikan tinggi dan berpengalaman. Dan berakhir aku yang hanya dapat merapatkan rahang.

Bangsat!
Tai kambinglah!
Aku menatap geram kedua orang tuaku yang seenak jidatnya membawaku ke kantor pusat perusahaan.

Jiwaku berada disekolah meski tubuhku duduk kaku didepan ruang direksi. Menatap dingin semua mata yang memandangku setelah mereka tahu jika aku penerus utama perusahaan Sayota Corp.

Aku hanya berharap guru hidupku itu bertindak cepat sebelum aku melakukan sesuatu yang akhirnya hanya akan membuatku menyesal belakangan.

Ponselku bergetar, kuraih dalam diam, membuka kunci layar, mendapati satu pesan chat darinya yang berakhir membuatku tersenyum tipis.

Sueg lu! Kalo begini aja nyuruh gua. Dasar bangke! Uda beres semua. Hati-hati lu disana.

Aku menghela napas lega, dia memang bisa diandalkan. Orang yang selalu tahu bagaimana menghadapi seorang Bumi Pramana. Sosok yang sangat kukagumi dan kusegani. Sosok yang sangat penting dalam hidupku.

Terima kasih. Aku merindukanmu 🤗😙😘

Aku membalasnya dengan cepat, tak lupa memberikan emoticon. Kembali memasukkan ponsel kedalam saku celana. Menatap wajah-wajah yang terlihat tegang.

Ponselku kembali bergetar, dengan cepat kuambil ponsel, menghidupkan layarnya, terkekeh pelan mendapat balasan yang luar biasa.

Najis lu!

Aku menggeleng, mulut pedasnya mengingatkanku dengan anak ayam. Membayangkan kesibukannya pagi ini disekolah.

Ngomong-ngomong soal Vallian, apa dia baik-baik saja disana? Otakku berkelana mengingat wajah cantik itu yang mungkin sekarang sudah komat kamit mengeluarkan jurus andalannya.

"Bumi  Bumi. Baru juga tiga hari nggak ketemu sama anak ayam, elu uda rindu berat." Batinku nelangsa.


Matahari naik keatas, teriknya mulai terasa dan akhirnya aku berdiri didepan gerbang sekolah setelah perdebatan panjang sebelum aku diizinkan bersekolah dan meninggalkan ruang rapat.

"Akhirnya." Gumamku lega.

Kulangkahkan kaki memasuki sekolah, melepaskan kacamata hitam setelah tadi dimobil aku berganti baju seragam.

Bisa gawat jika aku kesekolah mengenakan setelan jas. Ntar dianggap Oppa ganteng bisa bahaya. Si pinky bakal nemplok kayak perangko.

"Mik!!"

Aku menghentikan langkah, menoleh, mendapati Sastra dan Angkasa yang berjalan kearahku, tak lupa ikat lengan warna hitam yang menandakan sebagai panitia moss.

"Apaan?" Seruku saat mereka sudah dalam jarak terdekat.

"Bangke lu! Molor lama amat!" Angkasa kumat.

"Ya elah. Gua juga kagak mau molor bigini bangke! Lu nggak tahu aja kalo masa depan gua dipertaruhkan tadi pagi." Omelku.

"Semua aman?" Tanya Sastra yang memang sudah tahu nasibku hari ini.

The Bad BoyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang