9. Badai Hati

6.8K 646 16
                                    

BUMI-POV

Suasana ruang musik meraung seakan tak terkendali. Semua pasang mata yang berada diruangan itu hanya diam, menatap dalam diam.

Aku tetap fokus ngegebuk drum sesuka hati, menyampaikan rasa gilaku yang seakan mencekik.

Sekilas aku melirik kearah Sastra yang sedari tadi melipat kedua tangan didepan dada, menatapku dengan setia.

Sesekali ia menghela napas, menggosok hidung perlahan. Aku sangat paham dengan sikap itu. Artinya tuh bocah pengen ngebogem mukaku.

Satu jam aku bermain drum solo, menghentikan gebukan saat perasaanku mulai membaik. Satu jam lagi aku akan benar-benar menghajar orang.

"Sudah puas?" Suara Sastra mengintimidasi.

"Sedikit. Gua capek." Jawabku, merebahkan diri disofa, disamping Sastra.

"Elu ngebuang waktu kita latihan. Elu juga uda tahu kalo tiga hari lagi panggung mapensi uda mulai." Suara Sastra terdengar kesal.

"Gua butuh pelampiasan." Monologku.

"Bukannya setelah pulang sekolah ntar elu mau ngegebukin anak orang?" Matanya menatapku tajam.

Njir!
Pasti ini ulah sih Henry yang hobi banget kasih info sama Sastra mengenai kegilaanku.

Senyum ini terkembang, menaikkan kedua alis, malas menjawab karena ujungnya akan menjadi perdebatan yang panjang.

"Terserah elu lah Mik. Mulut gua uda lumutan buat ngasih tahu elu. Gua doain aja suatu hari nanti bakal ada orang yang bisa mecahin batok pala elu yang kerasanya melebihi batu baja." Omelnya.

Ia bangkit berdiri, berjalan menuju peralatan musik, diikuti anak timnya. Mereka mulai latihan dan aku hanya memperhatikan.

Astaga!
Aku baru ingat, jika tadi aku sempat bilang pada si anak ayam untuk menemuiku sepulang sekolah.

Bisa gawat kalau dia ikut dan melihat aku mengamuk menghajar anak orang. Tuh anak ayam bisa gemetar ketakutan.

"Eh kalian latihan sendiri aja. Gua ada urusan. Besok gladi resik. Lusa gua uda nggak bisa ngawasi latihan kalian." Seruku saat bangkit berdiri.

"Oke bang." Angguk mereka.

Aku segera kabur sebelum Sastra bersuara. Demi apapun, aku tahu sekarang tuh bocah mengumpat karena sikap semauku sendiri.

Benar saja, saat jam sekolah berakhir tuh anak ayam sudah berdiri didepan balkon ruang kelasku. Menunduk menatap lantai.

Ia tahu jika dirinya saat ini menjadi pusat perhatian karena seorang anak kelas satu ditemukan berdiri diarea anak kelas dua. Didepan kelas paling angker.

"Woi si cantik!" Teriak Wendy yang sudah keluar kelas terlebih dahulu.

Anjing!
Tuh bocah kayaknya nyari masalah. Padahal aku uda pernah kasih tahu dia untuk tidak mendekati milikku.

Aku meremat buku saat melihatnya merangkul anak ayam yang saat ini terlihat gusar tak nyaman karena keberadaan Wendy.

"Gua bilang apa? Lihat wajah Wendy." Bisik Angkasa.

Aku semakin geram mendengar bisikan Angkasa yang aku tahu memang sengaja memancing emosiku.

Dia menang, karena aku memang sudah terpancing sejak awal. Anjing bener si Angkasa.

Bangsat!
Aku segera bangkit berdiri, peduli setan dengan ucapan penutupan kelas. Mengabaikan keberadaan guru yang menatapku tak suka.

"Elu mau kan jalan sama gua?"

The Bad BoyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang