13. Kegilaan

6.7K 575 20
                                    

BUMI—POV

"Anjing!" Umpatku kesal.

Aku kembali berbalik, urung menuju tempat parkir saat sadar jika ponselku tak berada ditangan. Seingatku tadi aku masih memegangnya.

Sialan!
Cinta membuatku mendadak idiot bahkan bertampang bodoh. Otak jenius ini bahkan seolah berhenti memahami segalanya.

Coeg!
Rasa kaget memaku kepandaianku untuk tak bergerak. Jadilah Bumi Pramana bertampang bloon karena terpana akan sebuah mahakarya.

"Val Val!" Gumamku lirih.

Pasalnya, anak ayam itu adalah penyebab utama diriku melupakan segalanya bahkan lupa bagaimana bernapas dengan benar. Mengabaikan keawarasan.

Bahkan tadi sedikitpun aku tak bersuara. Hanya bersedekap dada untuk menetralisir detak jantungku yang bertalu seperti dentuman musik disko.

Sueg!
Entah malam ini sudah berapa kali aku mengumpat apa lagi saat dengan kurang ajarnya semua temanku mengajak untuk menghampiri Vallian Brata.

Aku bahkan harus menahan diri untuk tidak menerkam si anak ayam saat tuh bocah sibuk membenarkan tali baju kodoknya. Mengabaikan keberadaanku.

Kampret!
Diam menjadi pilihanku sebelum otak sintingku menang karena bisikan-bisikan napsu mulai mengangguku dengan sangat kurang ajarnya.

Tatapan ini beralih ke Sastra. Ia mengintimidasi seolah paham jika otakku mulai tak beres bahkan ia berani menyindirku.

Hal berikutnya, aku lebih memilih segera angkat kaki dari hadapan mereka semua sebelum aku melakukan tindakan gila yang membuat anak ayam tak nyaman bahkan mungkin malu.

"Bangsat! Kenapa juga tuh bocah pake baju begituan." Marahku sepanjang jalan meninggalkan mapensi.

Kemarahanku naik keubun-ubun saat tadi aku menyadari banyak mata yang menatap lapar pada anak ayam. Semakin membuatku ingin menghajar mereka satu persatu.

Apa bocah itu tak sadar jika penampilannya dengan dukungan wajah polosnya itu membuat para mahok semakin menajamkan radar mereka.

"Asa, mana ponsel gua?!" Sengakku meski aku tak yakin suara tajamku mampu didengar karena redaman sound sistem yang berhingar bingar malam ini.

Tapi tuh bocah biang kerok menoleh, yang artinya dia mendengarkan ucapanku dan aku kembali menatapnya memasang wajah yang dengan sangat senang hati ingin kuremukkan.

"Wah, akhirnya sadar juga. Gua kira elu bakal linglung sampai rumah ntar. Gua bahkan tak yakin elu bakal inget jalan pulang." Godanya dengan memasang muka menyebalkannya itu.

"Bangsat lu!" Geramku kesal.

"Kan sejak dulu gua emang bangsat. Sebelas dua belaslah sama elu." Jawabnya enteng.

Njir! Nih bocah biadapnya emang nggak ketulungan. Aku heran kenapa aku bisa berteman dengannya selama ini. Sepertinya dulu aku tak sadar saat mengajaknya berteman.

"Bacot mulu! Mana ponsel gua!?" Lebih baik mengabaikan otak tak warasnya.

"Ada sama ayang embeb elu." Jawabnya santai.

Aku mengusap wajahku kasar, demi dewa Zeus, rasanya ingin sekali aku menghabisinya sekarang juga.

Demi apapun, aku sedari tadi berusaha untuk tidak mendekati anak ayam dan fakta terbarunya sekarang teman idiotku ini malah memberikan ponselku padanya.

Astaga, aku harus merapalkan rangkaian doa kalau perlu berlulut didalam gereja dihadapan tuhan demi meredam emosi yang naik seketika.

"Bangsat lu, Sa!" Bentakku geram.

The Bad BoyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang