44. Prahara Pramana

3.7K 334 231
                                    

BUMI__POV

Sial!
Kupikir aku bisa menandainya sekarang. Tapi lihat, wajah itu pucat pasi dan peluh membanjiri tubuhnya.

Lenganku terasa perih karena cengkramannya. Dan anak ayam benar-benar kesakitan. Tubuh itu bergetar, sedang aku berusaha untuk tetap tenang.

"Apanya yang sakit?" Aku berusaha untuk tidak panik dan sekali lagi berusaha menahan juniorku yang sakit karena tegang.

"Perutku." Vallian memegang perutnya kesakitan.

Aku menghela napas, menjauh dari anak ayam yang kutindih, menyentuh perut mulus itu yang sumpah membuat jantungku berdetak menggila.

Perut itu benar-benar datar tak terbentuk, bahkan kulitnya terlalu mulus. Wajah itu semakin pucat. Aku harus bergerak cepat.

Detik berikutnya aku melangkah pergi, dari pergerakannya menandakan jika anak ayam mengalami kram perut.

Kuambil kotak gel pendingin dan membuang isinya, kuganti dengan air hangat mendekati panas. Meraih beberapa obat kram perut.

Uhuk!
Aku terbatuk memikirkan hal gila yang tiba-tiba memenuhi kepalaku. Pasalnya biasanya obat kram perut hanya digunakan Langi ketika datang bulan.

Kuhela napas lelah karena berjalan sedikit berlari, takut anak ayam pingsan karena demi apapun wajah pucat itu terlalu berlebihan.

"Rebahan yang bener." Perintahku saat tuh bocah menggulung tubuhnya sendiri sembari menahan sakit.

Kukompres perut itu dengan kotak jel yang di dalamnya berisi air hangat. Sedikit memijat perut bagian atasnya agar nyaman.

"Terima kasih." Ucapnya lirih.

"Hem. Aku benar-benar baru tahu jika perutmu sensitif." Ucapku sembari menekan kotak jel.

"Aku akan seperti ini jika terlalu stres atau tegang berlebihan dan sepertinya kram perutku yang sebelumnya belum benar-benar sembuh." Jelasnya.

"Minum obat ini. Setelah itu tidur." Perintahku tak lupa menyodorkan obat dan segelas air putih.

"Maaf." Gumamnya.

Aku menghela napas, membantunya kembali berbaring. Menatap tubuh itu yang terdapat kemerahan dibeberapa tempat karena hisapanku.

"Mau kemana?" Aku menoleh dan mendapati wajah khawatir dan gelisah darinya.

Kubuka lemari pakaian. Masih ada beberapa baju yang kutinggalkan. Mayoritas baju lama dan tak lagi aku kenakan. Namun masih sangat layak pakai.

"Kita ganti baju." Ucapku kembali duduk.

"Aku bisa sendiri." Serunya dan aku mengabaikannya.

Kupasangkan baju piyama dengan hati-hati. Menyerah saat ia tak ingin aku membantunya melepaskan celana denimnya.

"Sebaiknya tidur."

Kutarik selimut hingga menutupi tubuhnya sebatas dada. Tetap membiarkan kompres diperutnya. Menunggu hingga perut itu nyaman.

"Maafkan aku."

Kuraih tubuh itu dalam dekapan. Membelai lembut rambutnya. Mencium keningnya lamat. Mencoba menghilangkan ketakutannya.

"Aku yang seharusnya minta maaf. Aku terlalu memaksakan kehendak hingga aku mengabaikan jika kamu belum siap." Terangku.

Jujur, ini bukan sepenuhnya salahnya dan bukan salah anak ayam juga jika Ia mengalami stres dan kegelisahan berlebihan.

"Lagian aku tidak menyiapkan pengaman." Kekehku.

"Auch!" Pekikku saat mendapat cubitan maut diperut.

The Bad BoyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang