VAL—POV
Kuhela napas panjang, kali ini aku benar-benar gugup luar biasa. Pasalnya ini sudah jam 03.30 sore tapi kakakmu masih juga belum menampakkan batang hidungnya.
Detik berikutnya aku berjalan mondar-mandir demi menetralisir kegelisahan yang sumpah membuatku merasakan apa itu stres.
Coeg!
Pengen bener aku berteriak, demi apapun aku paling benci perasaan seperti ini. Boleh kan jika aku memaki kakakku karena tidak menepati janjinya?"Sabar Lian, mungkin dijalan lagi macet." Kuza mencoba menenangkanku.
Mungkin dia lelah melihatku mondar-mandir seperti menunggu istri yang sedang lahiran. Aku mengabaikan wajah khawatir itu.
"Emang kita tampilnya jam sembilan malam tapi kalo gua nggak lihat tuh baju rasanya belum tenang." Seruku.
Kali ini aku memilih duduk, capek juga berdiri dari jam dua tadi. Mungkin aku memang harus bersabar demi sebuah ketenangan.
"Elu nggak makan sore, Lian?" Tanya Kuza saat aku menyandarkan punggungku disandaran kursi.
"Gimana gua bisa makan kalo otak gua masih sibuk mikirin baju buat manggung." Ucapku dengan lesu.
"Gua juga bingung Lian gimana bantu elu. Kita sedari tadi sibuk buat mastiin kalo acara kita nggak ada yang kurang." Kuza menghela napas, ia merasa bersalah karena tak bisa menjaga amanah dariku sebelumnya.
"Sudahlah, gua mau tidur bentar." Aku menyerah, mencoba untuk pasrah.
"Oke, ntar gua bangunin."
Aku memejamkan mata, mencoba menjauhkan pikiran dari semua kegelisahan. Mencari mimpi yang bisa menenangkan hati.
Rasanya hangat, aku merasakan hembusan angin menyapa telingaku dan perlahan merasakan sesuatu yang hangat menempel disana.
Aku terkesiap, menoleh dengan cepat. Terkejut melihat siapa yang saat ini duduk disampingku. Tersenyum dengan aura hitamnya yang gahar.
Entah sejak kapan dia berada ditempat Kuza duduk, aku tak merasakan kedatangannya apa lagi kepergian Kuza yang tiba-tiba menghilang begitu saja.
"Apa yang kamu lakukan disini?" Tanyaku dengan suara serak.
"Melihatmu." Suaranya terdengar sangat santai.
"Tapi aku tidak ingin melihatmu." Terangku dengan sedikit menjauhkan jarak darinya.
Senyum devilnya terkembang, meraih rahangku dengan sedikit kuat membuatku merasakan sedikit sakit. Mata tajam itu menatapku intens, membuatku merinding.
"Sepertinya kau lupa siapa aku." Sarkasnya dengan wajah seolah ingin membunuhku.
Rasanya sekujur tubuhku terasa membeku demi melihat tatapannya yang sungguh menusuk jiwa yang tenang menjadi gentayangan.
Aku hanya diam, mungkin itu pilihan yang tepat, mencoba melepaskan tangan itu dari rahangku yang sumpah benar-benar terasa sakit.
"Kalau kau mau membunuhku jangan sekarang. Aku masih memiliki tugas yang harus aku selesaikan." Ucapku dengan rasa takut yang mulai menyebar.
Ia terkekeh, menatapku nyalak. Rasanya seluruh sendiku rontok demi mendapatkan tatapan seperti itu dari seseorang yang sangat ditakuti disekolah.
"Apa aku sebegitu menakutkannya dimatamu, hah?" seringainya membuatku merinding. Bariton beratnya juga mendukung karakter iblisnya untuk menguar.
Aku diam, menelan ludah. Ini seperti pertanyaan jebakan, jika aku jujur maka kemungkinan aku dihabisinya pasti ada begitu juga jika aku berkata sebaliknya.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Bad Boy
Teen FictionWARNING! [DISINI KALIAN BAKAL SAKAU DENGAN LAGU-LAGU WESTLIFE] Bagaimana rasanya saat berurusan dengan manusia terburuk disekolah? Dunia seperti berhenti berputar bahkan mungkin hidupmu terancam tak akan pernah tahu apa itu bahagia ketika manusia pa...