71. Vallian vs Wika

2.4K 238 171
                                    

VAL__POV

Angin sepoi menyapa lembut, menyapu panas dari tungku pemanggangan. Memikat temaram dibawah lampu malam.

Tangan ini masih cekatan, membalik dan memindahkan. Menggeleng saat mendengar obrolan tak jelas orang-orang yang tak tahu adat.

Anggap saja begitu.
Mulut bang Wika emang sumbernya malah petaka. Lihat saja bagaimana mulut itu berkoar tak jelas.

"Aduh!" Keluhku karena tanganku lebih memilih menyentuh alat pemanggang ketimbang dagingnya.

Anjir!
Sialan!
Bangke!
Kampret!

Mereka asyik mengobrol dan bermain gitar. Sementara aku harus sibuk sendirian dengan dunia memanggang. Ya meski Bumi ngebantuin sebentar.

Langi dan Mika hanya sibuk menontonku sembari bertopang dagu. Anggap saja ini hukuman karena ke pesta tak membawa kado.

"Masih banyak?" Bariton super berat itu mengejutkan lamunanku.

"Bang Viza." Seruku.

"Sini gua yang lanjutin. Elu duduk aja disamping Bumi." Serunya sembari mengambil sumpit dan capit dari tanganku.

"Tapi bang?" Aku tak enak padanya.

"Udah sana aja. Elu belum makan kan? Gua perhatiin elu nggak nyentuh makanannya sama sekali." Ucapnya.

Aku tersenyum canggung. Menggeleng pelan. Karena aku memang sedang tidak selera setelah menjadi koki dadakan.

Asapnya saja sudah membuat eneg. Dan itu membuatku kehilangan selera untuk memakannya. Otak ini hanya memikirkan kwetiau siram super pedas dengan sosis bakar diatasnya.

"Kok malah ngelamun?"

"Aduh!" Pekikku.

Anjir!
Sakit keningku kena sentil bang Viza. Kuputar bola mata saat mendengar Mika dan Langi yang cekikikan.

"Mungkin maunya kak Val disuapin bang." Goda Mika.

Aku menggeleng.
Menatap mereka mendelik. Kenapa juga bercanda didepan bang Viza yang auranya angker begitu.

"Mik?!" Panggil bang Viza.

"Ya bang?" Seru Bumi.

Sial!
Mika geblek!
Tuh bocah ya emang deh kurang kerjaan. Otaknya penuh konspirasi busuk.

"Elu sadar nggak kalo Vallian belum makan sedari tadi?" Tanyanya dengan nada mengintimidasi.

Bumi diam.
Perlahan beralih menatapku. Mata tajamnya semakin tajam saat pandangan kami bertemu.

"Kenapa nggak makan?" Tanyanya dengan wajah khawatir.

Bang Viza masih bersedekap dada, menatap Bumi tajam sembari menggelengkan kepala. Menghela napas pelan.

Plak!

"Anjir!" Pekik Bumi.

Ia meringis, meraba kepalanya yang dipukul dengan pencapit panggangan oleh bang Viza. Namun tak berani mengumpat lagi.

"Gua belum lapar kok bang." Seruku.

Kasihan Bumi.
Dia hanya terlalu sibuk digangguin oleh sahabat bang Viza yang baru aku sadari jika mereka benar-benar ajaib reseknya.

Pantas sih kalau selalu tak akur dengan bang Wika dkk. Sifat mereka bertolak belakang namun pada beberapa hal memiliki kesamaan. Sama-sama gesrek dan mulut amplasan.

"Yakin?" Bang Viza beralih menatapku tajam.

Aku mengangguk.
Sedikit ngeri juga.
Bang Viza itu susah ditebak dan sering membuatku kaget dengan sifat luar biasa baiknya itu.

The Bad BoyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang