47. Barra Kranaga

3K 299 238
                                    

VAL__POV

Kicauan sang pipit menjamu pagi, langit terlihat sendu dengan mendung yang sedari tadi pekat. Aku duduk bersendaku.

Menatap kesibukan orang rumah yang bersiap berangkat kerja dan sebagian hendak bersekolah. Melihat mama ribet dengan persiapan Azelia.

"Ma Pa, Lian berangkat." Pamitku bangkit berdiri, meraih tas dan ponsel diatas meja.

"Jangan lupa nanti pulang sekolah mampir kerumah sepupu elu." Pesan akong yang baru keluar dari kamarnya.

"Hem. Beres akong." Seruku sebelum melangkah pergi.

Jalanan padat seperti biasanya dihari senin. Aktivitas yang rapat dengan waktu, kendaraan pribadi menumpuk begitu juga deruan motor yang melaju dengan kebebasannya.

Ada sesuatu.
Perasaanku mengatakan itu sejak aku bangun tidur. Ruang yang selama ini kosong karena rindu terasa semakin menghimpit.

Kuhela napas, entah kenapa aku rindu dengan senyuman dan kehadirannya serta kegokilan reseknya yang selalu membuat suasana tak pernah suram.

Kusandarkan kepala disandaran kursi duduk, menatap transparan jalan raya. Tersenyum tipis mengingat kebersamaan itu. Kegajean anak SMP.

Terkadang kenangan menjadi jamuan sendu yang mengabarkan rindu, namun itu adalah lantunan kalem nan lembut yang menjadi hiasan hidup. Sebuah kenangan indah.

"Anjir! Kenapa sepagi ini gua jadi melo begini sih." Keluhku.

Aku menggeleng, membenarkan posisi duduk. Menghilangkan pikiran mengenai masa lalu yang orangnya saja menghilang tanpa jejak.

"Tuh orang emang dedemit abadi dah." Keluhku.

Perhatianku kembali teralih ke jalan raya. Melihat Bumi yang sedang diboceng motor dan aku masih ingat dengan jelas. Itu motor bang Viza.

"Bumi?!" Refleks tubuhku nemplok dikaca bus.

Aku baru ngeh dengan pemikiranku sendiri. Kami berada didepan lampu merah. Menit berikutnya motor itu melaju dengan kecepatan iblis.

"Luar biasa." Gelengku saat mendapati laju motor menghilang dari pandanganku bahkan sebelum aku berkedip.

Lima belas menit berikutnya aku sudah berdiri didepan gerbang sekolah. Meraba dadaku yang tiba-tiba terasa berat dan sesak.

"Semoga semua baik-baik saja." Doaku dalam hati.

Ruang kelas kisruh sejak aku mendudukan diri dibangku. Mendengar ocehan mereka mengenai murid baru dikelas sebelah yang artinya dikelas sahabatku Kuza.

"Anjir dah! Sumpah kece abis." Seru para cewek.

"Gila gantengnya. Tinggi pula." Seru lainnya lagi.

"Tambah lagi saingan nih." Sastra menghela napas. Aku menoleh kebelakang, melihat Sastra duduk bersandar sembari bersedekap dada.

"Saingan elu?" Tanyaku tersenyum mencemooh.

"Hem." Jawabnya lemah.

Bianca terkekeh, "Elu diurutan kelima diangkatan kita. Tenang aja, bagi gua elu paling ganteng deh." Bianca menghiburnya.

"Tapi kenapa ketawa elu begitu?"Aku menatap Bianca dengan kening berkerut.

"Lucu aja lihat temen kita satu ini bad mood gegara urutan gantengnya kegeser." Terang Bianca.

Aku menggeleng, kembali duduk menghadap kedepan, mengeluarkan ponsel dari dalam tas. Melihat pesan masuk dari Kuza.

"Tapi selama gua hidup cowok paliiiing ganteng yang pernah gua lihat secara langsung itu cuma lima." Seru Bianca.

The Bad BoyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang