BUMI__POV
Langit mendung, hawa dingin pun beranjak mendekat. Sepertinya musim hujan akan segera datang. Tandanya waktu berjalan cepat.
Kepala ini terasa pusing. Hari ini ada ujian, mau tak mau aku harus tetap masuk sekolah. Mengabaikan badan yang terasa berat.
"Elu yakin mau sekolah?" Mata itu menatapku khawatir.
"Hem. Gua ada ujian." Kembali kuluruhkan kepalaku diatas meja makan.
Bang Viza pagi-pagi sudah menjemputku. Kali ini dengan penampilan yang menunjukkan jika dirinya murid sekolah.
Wajah itu mulus, tak ada bekas lebam atau plester yang nempel disekitar wajahnya. Lebih terlihat manusia dari beberapa hari sebelumnya.
Ya meski baju tak dimasukkan dan rambut berantakan serta dasi yang cuma numpang bertengger dilehernya. Ia tetap ganteng.
"Ngomong-ngomong tumbenan elu kalem, bang?" Selidikku.
"Hem." Gumamnya.
Ia meletakkan kotak bekal diatas meja dan sebungkus plastis berisi obat-obatan yang langsung membuatku pusing saat melihatnya.
"Biasanya elu kalo sakit nggak dirasain tau-taunya uda sekarat dan kudu di opnam." Ocehnya.
Njir!
Sueg!
Abangku kayaknya lupa sama dirinya sendiri. Padahal dia lebih tak peduli dengan dirinya sendiri."Sarapan dulu habis itu minum obat." Perintahnya meletakkan sendok ditempat bekal, tak lupa menyodorkan gelas berisi air putih.
"Elu yang masak bang?" Aku terkekeh.
"Menurut elu?" Mata itu mendelik tajam.
Kali ini aku tersenyum, "Terima kasih." Ucapku tulus sembari meraih sendok.
"Hem." Ia menepuk kepalaku sayang.
Ia duduk dikursi depanku. Kami berada diapartemen sekarang. Aku hanya sesekali pulang kerumah karena khawatir dengan Langi dan itu saat mereka tak berada dirumah.
"Gua minta obat yang nggak bakal bikin elu ngantuk." Terangnya sembari mengeluarkan obat dari dalam plastik.
"Sirup ini diminum tiga kali sehari setelah makan gitu juga sama dua pil yang ini. Nah kalo kapsul ini sehari sekali sebelum tidur." Terangnya.
"Hem." Gumamku dengan mulut penuh makanan.
Masakan bang Viza selalu enak seperti biasanya. Jika aku, Langi, Wika dan Mika sakit ia selalu masak sendiri. Memastikan makanan yang kami makan itu sehat dan bersih.
"Dokter Digo bilang kalo perut elu nggak ada perubahan, elu kudu datang ketempatnya." Jelasnya.
"Hem." Anggukku.
"Ya uda gua tunggu elu dibawa. Jangan lupa bawa jaket." Terangnya sembari beranjak berdiri.
"Elu nggak bakal telat apa, bang?" Tanyaku.
Masalahnya arah sekolah bang Viza dengan sekolahku beda. Dan sekolah bang Viza masuk lebih pagi ketimbang sekolahku.
"Nggak." Jawabnya sebelum menghilang dari balik pintu.
Aku yakin bang Viza pasti telat. Itu membuatku merasa sedikit bersalah karena membuatnya semakin buruk disekolah.
Tapi otaknya terlalu jenius untuk ketinggalan pelajaran meski ia jarang masuk sekolah. Itu turunan dari keluarga Pramana.
Alasan sekolah tak mengeluarkannya meski ia termasuk brandal tengil karena abangku itu selalu berhasil memberikan piala dan piagam untuk sekolah.
Hampir dalam semua hal ia mendapat peringkat pertama. Bahkan saat lomba beladiri bulan kemarin ia mendapat mendali emas. Membuat semua lawannya tak berdaya.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Bad Boy
Roman pour AdolescentsWARNING! [DISINI KALIAN BAKAL SAKAU DENGAN LAGU-LAGU WESTLIFE] Bagaimana rasanya saat berurusan dengan manusia terburuk disekolah? Dunia seperti berhenti berputar bahkan mungkin hidupmu terancam tak akan pernah tahu apa itu bahagia ketika manusia pa...