77. Ketika Rasa di Uji

2.1K 247 157
                                    

BUMI__POV

Rasanya sesak.
Keringat ini membanjiri tubuhku. Seolah peluh mengatakan segalanya jika aku sudah mulai lelah.

Aku menghajar sepuluh orang dan membuat mereka pingsan. Namun yang membuatku takut adalah sebuah kebenaran.

Mereka mempersiapkan segalanya dengan sangat matang. Artinya aku terlalu meremehkan kediaman papa dan mama. Bahkan bang Viza kecolongan.

Semua orang kepercayaan bang Viza yang mengawasiku terkapar tak berdaya dan kurasa mereka menggunakan obat bius.

Mustahil.
Orang-orang bang Viza adalah pilihan. Mereka tidak akan tumbang segampang itu jika mereka tidak membuat jebakan.

Aku menyapu peluh.
Menajamkan pandangan. Menatap kumpulan manusia yang mengenakan seragam serba hitam dengan segala tatapan memburu mereka.

Tenagaku terkuras.
Aku sudah mendekati batasan. Namun aku mencoba bertahan memastikan jika aku akan menepati janjiku untuk pulang.

Buk!
Sialan!
Kepalaku terasa berat. Sebuah pukulan mendarat ditengkukku dengan hebat. Detik berikutnya segalanya menghitam.

Entah apa yang terjadi dan berapa lama aku pingsan. Intinya sekarang aku berada disebuah ruangan mewah yang kuyakini jika ini bukan kediaman Pramana.

"Anjing!" Muntapku berteriak.

Aku panik saat sadar jika aku dikurung. Segala penjuru sudah kuperiksa namun tak ada cela untukku kabur selain pintu didepan.

"Bangsat!" Teriakku saat ponselku pun tak ada didalam saku celana.

Sialan!
Bedebah!
Teriakan Langi membuatku gegabah dan sembrono hingga jebakan itu benar-benar mengenaiku.

Tak ada apapun selain jam didinding dan ini sudah malam saat aku membuka korden jendela. Aku terkurung sekarang.

"Papa! Mama!" Teriakku.

Kugedor pintu sekuat mungkin. Aku harus kembali. Anak ayam menungguku di rumah. Aku tak bisa lagi menyakiti hatinya.

Aku belum selesai bicara.
Kami masih memiliki sangkutan pembicaraan dan anak ayam belum tahu jika aku lebih memilih dirinya daripada kuliah di Inggris.

"Kumohon. Siapapun diluar. Tolong bukain pintunya." Ratapku.

Aku hopeless.
Dan aku hanya ingin pulang. Menepati janjiku padanya.
Menghabiskan waktu bersamanya.

"Papa!" Teriakku.

Tenggorokanku mulai kering.
Entah sudah berapa jam aku berteriak dan menggedor pintu namun sedikit pun tak ada pergerakan.

Aku diabaikan.
Mungkin juga sendirian.
Dan sekarang aku semakin gelisah saat kembali kupandangi luar.

Gelap gulita.
Jam didinding sudah menunjukkan jam satu pagi. Tapi aku masih tak mampu pergi. Ini benar-benar membuatku stress.

"Aarrrkkkgg!" Teriakku marah.

"Bajingan!"

"Kalian semua pasti mati!"

Kukeluarkan semua kemarahan. Mencoba bertahan meski rasanya aku akan segera gila. Semua bayangan anak ayam yang menunggu membuat hati ini tak bisa tenang.

Kujatuhkan tubuh ini dilantai, bersandar pinggiran kasur. Mengatur napas sembari menatap semburat perabotan kamar.

Kupandangi diriku dari balik kaca lemari tepat didepanku. Segalanya berantakan. Namun hatiku jauh lebih dari kata berantakan.

The Bad BoyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang