10. USG PERTAMA

66.9K 6.1K 191
                                    

"Gue nggak jadi menggugurkan janin itu," tungkas Bara. Dadanya kembang-kempis. Ia tidak mau di samakan dengan papanya. Ia tidak bisa.

Satrio memangku kedua tangannya di depan dada, lalu tersenyum.

Aina sontak berdiri. "Tapi kak-"

"Gue akan nikahin lo!" tegas Bara.

Mata Aina terbelalak. Ini lebih gila dan mampu membuat Aina makin stress. Apa maksudnya? Menikah? Menikah dengan laki-laki bernama Bara itu. Astagfirullah ini mimpi buruk bagi Aina.

Aina menggeleng. "Tidak, Aina nggak mau. Aina masih sekolah."

Bara menoleh intens ke arah Aina. "Egois, lo lebih mentingin pendidikan dari pada anak lo. Hm?"

Aina tergagap. Tunggu, bukankah Bara yang menyarankan Aina untuk menggugurkan kandungannya. Lalu sekarang kenapa dirinya yang dibilang egois?

Citra menepuk pelan bahu Aina. "Kamu masih bisa sekolah, sebelum nanti perut kamu akan membesar. Setelah itu kamu bisa home-schooling kan?"

Benar, ide Citra cukup bagus untuk diterapkan di kondisi seperti ini. Baiklah, masalah satu sudah punya solusi. Namun masih ada satu yang mengganggu pikiran Aina, orangtuanya.

"Tapi-"

Bara menghela nafas pelan. Ia tahu apa yang ada di pikiran Aina, orangtua. Bara 'pun memikirkan mamanya, apa yang akan menjadi reaksi mamanya. Mau bagaimanapun Bara tidak bisa membohongi mamanya, hanya karena alasan kondisi.

"Gue akan bicara ama ortu lo," ungkap Bara. Keputusan menikah bukanlah hal mudah, tapi ini adalah jalan keluar terbaik selain membunuh janin tak berdosa itu.

Aina ternganga kecil di balik cadarnya. Tidak semudah itu berbicara dengan kedua orang tuannya, apalagi tentang masalah ini. Aina takut, sebelum Bara berbicara, mungkin nyawa laki-laki itu sudah melayang. Apalagi ayah Aina, Andra bukanlah tipe orang yang bisa dengan mudah mengampuni yang sudah menyakiti orang-orang yang ia sayangi. Jadi, bicara dengan Andra sama saja seperti bunuh diri.

Citra berdehem. "Aina, jangan dipikirkan. Yang harus kamu lakukan sekarang adalah menjaga kesehatan, untuk diri sendiri dan anak kamu."

Satrio menjatuhkan diri ke sofa. "Saya akan beri tahu papa kamu Bara, untuk melamar Aina untuk kamu. Saya rasa itu akan lebih mudah."

Bara menatap tajam Satrio. Dia tidak suka, kenapa semua hal harus bersangkutan dengan papanya. "Ngga perlu, gue bisa mengatasi ini sendiri."

"Ouh oke." Satrio berdiri hendak melangkah keluar ruangan. "Sepertinya saya harus pergi, karena banyak urusan."

Setelah Satrio meninggalkan ruangan itu, suasana menjadi hening. Semua sibuk dengan pemikiran masing-masing, kecuali Citra yang kembali berkutat dengan beberapa berkas pasien di atas mejanya.

"Kebetulan kalian sudah sampai di sini, gimana kalo sekalian kalian mengecek kandungan Aina?" saran Citra.

Aina menoleh ke arah Bara. Ia berfikir, apakah Bara akan siap melihat anaknya.

"Bara, apa kamu mau melihat anak kamu?" tanya dokter Citra.

Alis kiri Bara terangkat. "Emang bisa?"

Citra mengukir senyum. "Iya bisa dong," kata Citra.

"Gimana caranya?" Kini Aina lah yang bertanya. Ada rasa bahagia menghampiri Aina saat Citra mengatakan hal itu. Ia ingin melihat malaikat kecil di dalam perutnya.

"Dengan cara USG," jawab Citra. Ia beranjak ke tempat Aina berdiri, lalu menuntun gadis bercadar itu ke arah brankar di salah satu sudut ruangan. Lalu dengan izin Aina, Citra merebahkan tubuh Aina di atas kasur itu.

Bayi Di Balik Seragam SMA (Lengkap) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang