15. PANGGILAN MAUT

65.3K 6K 81
                                    

Heboh, riuh picuh, pecah teriakan histeris. Seantero SMA Garuda di hebohkan dengan kedatangan seorang Bara, sang idola sekolah idaman kaum hawa. Bara datang dengan seorang gadis bercadar, yang dibonceng olehnya. Bara dan Aina baru saja melewati gerbang.

"Astaga, siapa cewek itu?"

"Cih... perempuan murahan!"

"Katanya alim, tapi kok gitu?"

"Eh, mereka ada hubungan apa sih?"

Sudah Aina duga, pasti ini yang akan terjadi jika ada gadis yang terlihat dekat dengan seorang Bara. Secara kan Bara adalah laki-laki yang mereka dambakan. Jika terlihat dekat dengan seorang cewek, mereka pasti akan seperti cacing kepanasan.

Aina menatap Bara cemberut di balik cadarnya.

Merasa ada yang memperhatikan, Bara melirik Aina dengan tangan yang masih fokus membuka helm. Ia menaikan sebelah alisnya. "Kenapa?"

"Kita jadi pusat perhatian," adu Aina.

"Trus?" Ini memang sudah biasa bagi Bara, tapi tidak untuk Aina.

"Kakak nggak takut diterkam gitu?" tanya Aina. Ia sudah melepaskan helm, dan memberikannya pada Bara.

"Berani mereka nerkam gue? Mereka cari mati," ucap bangga Bara, yang justru membuat Aina meringis.

Bara dan Aina tidak luput dari perhatian teman-temannya Bara, yang sedang berkumpul di area parkiran. Biasa, setiap sebelum bel masuk, mereka akan bergosip terlebih dulu di sini, setelah itu mereka bubarkan. Salah, jika kalian mengira mereka akan masuk ke kelas masing-masing, karena setelah itu mereka akan kabur dari sekolah membuat absen dengan tinta merah dan bersenang-senang di luar sana.

Keempat sahabat Bara, sekaligus anggota inti dari geng Tiger, menghampiri Bara dan Aina. Mereka memandang, dengan pandangan yang berbeda-beda. Ada yang penuh tanya, ada juga yang tersenyum jahil, seperti Arya dan Daniel.

Arya berlari, dan tiba-tiba merangkul bahu Bara. "Beralih haluan ya bro?"

Bara api menggeleng, lalu mencoba melepaskan diri dari rangkulan Arya. "Gue bukan homo."

Bukannya tersinggung, Arya justru semakin melebarkan senyumnya.

"Lagian Arya, ngapain meluk-meluk Bara, lo kan belum mandi," timpal Daniel.

Arya menatap tajam ke arah Daniel, seolah akan memakan sahabatnya itu. "Maksud lo apa ngomong kek gitu... hah!" Arya tersulut emosi.

Bukannya takut, Daniel justru membalas tatapan tajam Arya. "Memangnya kenapa? Hah!"

"Iya emang... gue belum mandi!" ucap bangga Arya, ia mengangkat-angkat lengannya sehingga ketiaknya tepat di depan wajah Daniel.

"Nih rasakan wangi neraka... hahaha," kata Arya.

"Asem lo, Ar!" sembur Daniel mencoba menjauhkan ketiak Arya dari wajahnya.

"Hahaha... wangi kan?" tanya Arya.

"Bau menyam! Mandi napa sih?" ketus Daniel, mukannya dibuat mesem-mesem.

"Niel, jangan kek gitu lah mukanya. Lu kek monyet. Iya, nanti gue mandi di pon bensin. Lumayan bisa mandi pake shower love. Hahaha."

Raphael dan Evans hanya diam mendengar dan menyaksikan tingkah konyol dua sahabat mereka itu. Untung sahabat, jika tidak sudah lama Evans siram menggunakan air comberan. Anggap saja ini ujian.

Raphael mencoba untuk tidak memusingkan dua monyet tersesat, yang tidak lain adalah sahabatnya sendiri. Raphael melirik Aina, gadis bercadar yang diam seribu bahasa. Sepertinya gadis itu ingin pergi, tapi di tahan oleh Bara.

"Ada hubungan apa lo berdua?" tanya Raphael dengan wajah serius. "Traktirannya dong... gimana sih, masa jadian nggak bilang-bilang," lanjut Raphael lagi, menyodorkan tangannya.

Baiklah, memang diantara mereka, hanya Evans yang masih memiliki otak lengkap. Ya, jika tidak terkikis karena menghadapi teman-temannya yang astaghfirullah ini.

"Aina!" Mereka semua menoleh ke sumber, suara dan mendapatkan seorang gadis cantik berjalan menghampiri mereka.

"Astrid," sapa Aina, ia tersenyum dari balik cadar nya dan melambaikan tangan ke arah Astrid.

"Itu bukannya cewek yang Bara gebet beberapa bulan yang lalu?" tanya Daniel tiba-tiba. Ia masih ingat gadis cantik itu, yang sok jual mahal tidak ingin menjadi pacar Bara.

"Dan, Bara juga nembak tu cewek waktu itu. Btw, diterima nggak, bro?" tambah Arya. Menepuk bahu Bara. Menaik turunkan alisnya.

Bara menatap satu persatu sahabatnya yang bermulut lemes itu. Lalu, menoleh ke arah Aina yang terdiam tidak mengerti apa yang sedang dibicarakan. Bara menghela nafas lega. Tapi, otaknya berputar memikirkan kenapa dirinya harus khawatir Aina terluka dengan perkataan teman-temannya?

"Ai, ke kelas yuk! Lo bantuin gue ngerjain tugas. Yang kimia belum sempet gue kerjain." Astrid menarik tangan Aina, menjauh dari Bara dan rombongan. Bahkan Astrid tidak memperdulikan, saat mereka bertanya.

Bara menatap datar kepergian istrinya.

"Bar, lo belum jawab pertanyaan kita tadi. Ada hubungan apa lo ama dekel bercadar itu?" Evans sangat penasaran dengan jawaban dari pertanyaan itu, ini adalah hal yang seperti air di tengah padang pasir. Bara tidak pernah dekat dengan seorang cewek selain mamanya. Dulu pernah dikabarkan dekat dengan Astrid, tapi teman-temannya tau ada alasan dibalik itu. Lalu sekarang dengan Aina, ada apa?

Dengan santainya Bara mengatakan, "dia penentu hidup gue." Bara juga tidak tahu apa maksud dari ucapannya, ia hanya mengatakan apa yang dia rasakan.

"Hah?" Sahabat-sahabat Bara tidak mengerti apa yang dikatakan laki-laki itu.

"Maks–" Ucapan Evans terhenti, kala ponsel di dalam sakunya berdering. Diraihnya benda itu, seketika matanya membesar terkejut. Ia sampai ber gemetar mengangkat panggilan dari orang yang namanya tertera di sana.

"Hallo," sapa Evans.

Evans kikuk iya mengusap tengkuknya. "Ah, i–ya, assalamu'alaikum."

"Hah? I–ya, iya siap bang."

Evans ditatap penuh tanya oleh teman-temannya.

"Bang Andra sekarang ada di markas Tiger, sama penegak lainnya," jawab Evans. "Dan Bang Andra nyuruh kita ke sana sekarang," lanjutnya.

Diantara wajah penasaran mereka, hanya Bara yang terlihat begitu cemas. Namun berusaha untuk tetap tenang. Gawat, sepertinya mertuanya itu akan melakukan sesuatu hal yang tidak bisa dibayangkan.

"Matilah kau Bara," batin laki-laki itu.

Bayi Di Balik Seragam SMA (Lengkap) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang