32. MENJADI IMAM SHOLAT

52.8K 5.5K 440
                                    

Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Tidak memperdulikan Aina yang kalang kabut, Bara sangat santai membuka kedua sepatu yang ia pakai. Dan sekarang tangannya bergerak mulai membuka satu persatu kancing baju seragamnya.

"Kakak mau ngapain?!" Aina berucap dengan nada panik, dia semakin tidak tahu apa yang harus dilakukan.

Kekurangan Aina saat panik adalah bergerak tak tentu tujuan, sama halnya dengan saat Bara merenggut kehormatannya. Aina tidak bisa melakukan apapun, bahkan untuk melawan gadis itu merasa sangat kelelahan.

Bara semakin melebarkan senyum, dia tidak tahan dengan kegemasan terhadap istrinya itu. Saat segaris senyum itu mulai terangkat, hingga memperlihatkan deret gigi pemuda itu. Satu kata untuk Bara, yaitu sangat tampan.

Aina tidak bisa membohongi diri, ia mengakui jika saat ini tengah tertegun akan pesona suaminya. Satu hal yang Aina syukuri, mereka sudah menikah jadi ia tidak perlu menghawatirkan dosa.

"Pikiran lo ke mana-mana," ujar Bara. Setelah berhasil menanggalkan semua kancing bajunya, hingga menyisakan baju kaos berwarna hitam yang melekat di badan atletis pemuda itu.

Bara melemparkan baju itu ke arah Aina. "Nih pake. Buat nutupin tubuh triplek lo."

Aina masih terpaku. Alisnya terlihat menyerengit, ia heran ada apa dengan jantungnya kenapa berdetak begitu liar? Ada masalah dengan organ bagian itu.

"Tapi, masa masih muda jantungan?" tanya Aina dalam hati.

"Yeuh, malah bengong. Sono ganti baju!" Suara berat Bara terdengar, membuat lamunan Aina membuyar.

"Tapi Kak–"

"Gue nggak akan liat, ini gue merem."  Bara mulai menggerakkan kelopak mata, hingga pandangan menghitam semua.

Dengan gerakan taleten Aina mulai berganti pakaian, tentu dengan rasa was-was, takut jika Bara mengintip.

"Jangan kelamaan bengong, cepat ganti baju!"

Aina kembali fokus mengganti bajunya, kali ini dia memilih menggunakan gamis santai berwarna maroon. Gadis itu juga menggunakan khimar panjang berwarna senada. Tidak lupa dengan cadar berwarna hitam.

"Aina udah selesai, Kak," ujar Aina.

Mendengar itu, perlahan Bara membuka kembali kelopak matanya. "Lama amat."

"Maaf Kak." Aina masih belum terbiasa satu ruangan dengan laki-laki, walaupun sekarang Bara adalah suaminya.

"Gue ngerti sekarang, kalo wanita bercadar itu nggak pernah buka cadar walaupun saat tidur," gumam Bara. Namun, pital suaranya tidak terdengar seperti bergumam. Sengaja ia keraskan.

Aina mengangkat tangannya ke udara, lalu melambaikan dalam gerak 45° sebanyak dua kali. "Eh bukan gitu, kalo tidur ya dilepas cadarnya," sanggah Aina.

Bara menaikan sebelah alisnya. "Oh ya? Trus lo kenapa masih pake?"

"Itu, anu–sebenarnya..." Aina menunduk, ia gugup jika ditatap begitu intens dengan Bara.

"Padahal tadi di rumah sakit, lo sendiri yang bilang kalo gue suami lo. Ya wajar dong, kalo gue liat rambut ama wajah lo?" goda Bara, berucap cukup panjang kali ini pada Aina.

Bara memang bukan orang yang memiliki karakter dingin, irit bicara, tapi dia sangat humble pada siapapun yang menurutnya tidak mengganggu ketenangan. Lebih tepatnya, pemuda itu akan berkarakter berbeda-beda saat situasi tertentu.

Mendengar tuturan Bara beberapa saat lalu, rona merah menyebar di seluruh wajah Aina, untung tertutupi cadar. Gadis itu semakin menunduk malu.

"Kak, itu Aina refleks tadi manggilnya 'suamiku'. Serius deh," tutur Aina. Dia memberanikan diri menatap mata tajam Bara.

Bayi Di Balik Seragam SMA (Lengkap) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang