8. GUGURKAN

70.6K 5.6K 222
                                    

Selama tiga hari ini, Astrid begitu gencar meminta maaf pada Aina. Astrid merasa begitu bersalah atas peristiwa yang menimpa sahabatnya-Aina. Berulang kali pula Aina mengatakan bahwa dia sudah memaafkan Astrid. Seperti saat ini, Astrid memutuskan untuk menginap di rumah Aina.

"Na, gue merasa bersalah banget ama lo," lirih Astrid. Aina tersenyum lalu menggeleng.

"Ini semua bukan salah kamu, ini sudah menjadi takdir Allah," kata Aina. Ia mengelus-elus perutnya yang masih rata, air matanya kembali menetes. Hatinya terasa ditusuk sembilu mengingat bahwa di dalam perutnya ada benih bayi, hasil dari Bara.

"Tuh kan lo nangis lagi." Astrid menyodorkan tisu pada Aina.

Aina menggeleng. "Aina hanya memikirkan yang akan terjadi setelah ini. Bagaimana kalo bunda-ayah tau akan hal ini. Hiks."

Astrid menarik Aina kedalam pelukannya. Untungnya kamar Aina sudah dikunci dan kedap suara jadi tidak dapat di dengar oleh orang luar.

"Aina ngga menginginkan anak ini!" Aina terisak pilu dalam pelukan Astrid. Astrid mencoba menenangkan dengan mengusap lembut punggung Aina.

"Hiks.. Aina takut!"

"Apa yang harus Aina lakukan pada anak ini? Hiks."

Astrid juga ikut menangis. Sungguh, jika dia tau akan begini jadinya dia tidak akan mengajak Aina ke hotel itu, dan bertemu laki-laki bejat itu. Ya, Astrid sudah menganggap ABIAN DAVINO ADIBRATA. Bara adalah laki-laki paling brengsek di dunia ini.

"Aina bahkan nggak tau, apa kak Bara akan menerima anak ini sebagai anaknya atau tidak?" ucap Aina parau. Astrid melonggarkan pelukannya hingga terlepas, dan menyandarkan Aina pada kepala ranjang.

"Na, gue saranin omongin ini secara baik-baik sama kak Bara, karena bagaimana manapun kak Bara adalah ayah dari bayi ini." Astrid mengusap perut datar Aina.

"Tapi Aina takut, bagaimana kalau nan-" Ucapan Aina terpotong karena Astrid menempelkan jari telunjuknya di depan mulut Aina.

"Yang penting kita udah ngasih tau, kalo dia nggak mau nerima yaudah."

🕌🕌🕌

Dipilinya ujung jilbab dengan kuat. Namun rasa gugup dan cemas masih melingkupi hatinya. Begitu banyak pertanyaan pesimis yang tumbuh. Aina memandang ke arah sekitar sudah tidak ada orang, karena mereka semua sudah ke kantin. Ruangan kelas sepi, hanya di isi beberapa orang saja, termasuk Aina dan Astrid.

"Astrid, lo dipanggil sama buk Rima!" Gio menghampiri Astrid.

"Lo di suruh ke ruang guru sekarang," katanya lagi.

"Tapi gue nggak bisa. Gue ada ur-"

"Udah Astrid, kamu ke ruang guru aja. Aku bisa sendiri," potong Aina. Astrid menoleh ke arah Aina, dengan tatapan mengisyaratkan 'serius nggak papa?'.

Aina mengangguk, "InsyaAllah aku ngga papa," ucap mantap Aina.

Setelah susah payah menyakinkan Astrid, akhirnya dia menurut juga. Sekarang, tinggal Aina dengan kecemasannya. Aina berdiri melangkah keluar dari kelas.

Aina melewati koridor, ia bisa melihat begitu banyak orang berlalu-lalang sibuk dengan aktivitas masing-masing. Mereka tidak terlalu memperhatikan orang lain. Aina merasa aman, setidaknya tidak ada yang bertanya dia mau kemana, kenapa melewati lorong kelas dua belas?

"Semoga saja kak Bara ada di dalam kelas," guman Aina.

Beberapa saat kemudian, Aina sudah sampai di depan kelas bertuliskan 'XII IPA 1' menurut informasi, itu adalah kelas laki-laki yang Aina cari.

Bayi Di Balik Seragam SMA (Lengkap) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang