22. PERKARA PERCERAIAN

61.7K 5.1K 121
                                    

"Kalo lu pada nggak percaya, yaudah." Bara mengangkat bahunya, acuh. Ia kembali memandang hamparan langit biru di atas sana.

Arya masih tidak habis pikir, jika wanita bercadar itu adalah anak dari seorang penegak geng motor. Dan parahnya adalah istri seorang Bara yang minus akhlak, sangat kontras sekali dengan Aina.

Evans juga sepemikiran dengan Arya, sangat tidak masuk akal Bara sudah menikah? Kapan laki-laki itu menikah? Tanpa beritahukan pada sahabat-sahabatnya.

Raphael terdiam sejenak, tangannya berketuk pada dagu. Evans,  Daniel dan Arya memandang was-was pada sahabat mereka itu, sangat aneh jika seorang Raphael tiba-tiba terdiam.

"Hm, gue tahu nihhh..." Raphael menatap lekat Bara yang masih rebahan, ia tersenyum jail.

Bara yang memiliki kepekaan yang tinggi, tentu menyadari tatapan Raphael. Ia menunggu apa yang akan dikatakan oleh sahabatnya itu.

"Menurut novel yang pernah gue baca, biasanya kalo nikah saat SMA pasti nikah kontrak. Yaa kan!?" todong Raphael pada Bara. Ia merasa senang, karena bisa menebak situasi. Bangga pada diri sendiri.

Perkataan Raphael membuat teman-temannya terdiam, ternganga, benar juga apa yang dikatakan laki-laki itu. Bisa jadi, Bara dan Aina menikah kontrak.

"Lalu setelah itu, Bara dan si cewek cadar ini cere setelah tamat SMA," lanjut Raphael. Mulai mengeluarkan bakat Roy Kiyoshi perpaduan dukun ngarang.

Pengutaraan Raphael berhasil membuat teman-teman beralih pandang pada Bara yang terlihat sangat acuh. Pandangan yang berbeda-beda, penuh penuntutan, kebingungan, ketidakpercayaan.

"Bener kek gitu?" tanya Evans terdengar lirih. Iya tetap menampilkan raut wajah datar.

Bara berdecih. Dia bangun mendudukkan tubuh tegap. Matanya terarah sempurna pada Raphael yang ikut lesehan di bawah.

Mata tajam Bara seakan mampu menusuk ke dalam kornea mata Raphael. "Karangan lo kek sampah," kata Bara. "Gile aje gue cerai ama bini gue, nasib Ucul gimana, cobak?" Bara bertanya dengan nada geram.

"Hah!?" Suara kebingungan itu kompak keluar dari teman-temannya. "Siapa Ucul?" tanya mereka, tentu dengan kompak juga.

Bara menaikan alisnya. "Kompak bener lu pada. Ciee, tumben." Laki-laki itu terkekeh. "Ucul itu anak gue." Dengan santainya Bara mengatakan hal itu.

Dalam hitungan kurang satu detik, suara gelak tawa menyembur, menggema di lingkup rooftop itu.

"Buset! Hahaha." Arya sampai terbentur ke kursi. Karena posisinya dekat di bawah kursi. Tawanya tidak bisa terhenti, sampai kerongkongannya terasa kering.

Daniel sama halnya dengan Arya, ia tertawa begitu keras sampai matanya berair. "Hahaha."

Raphael memukul-mukul punggung Arya sebagai pelampiasan tawanya, tangan itu memang tidak bisa tidak memukul sesuatu jika sedang tertawa. Nasib Arya saja yang kurang beruntung jadi korban.

Evans membuang muka, mengalihkan pandang ke arah kiri hingga terlihat hamparan atap-atap rumah dan gedung-gedung. Ia meraup udara sebanyak-banyaknya, wajahnya sudah memerah menahan tawa.

"Sksksk..." Evans yang menahan tawa, tapi tawanya tetap terdengar walaupun mulutnya tertutup. Terdengarnya cukup aneh.

Karena tawa Evans yang terdengar aneh itu, serentak teman-temannya menghentikan tawa dan langsung menatap Evans heran.

"Emang ya, kalo orang dingin tawanya berbezah sekaleh," timpal Arya.

Bara menatap bingung ke teman-temannya. "Apa ada yang lucu?" tanyanya. "Kalian receh."

"Ya elu, gaya aja keren. Nama anak Ucul, ape kata temen-temennya nanti?" celetuk Raphael.

Bara menggelengkan kepala. "Ucul keren kok, namanya anti-mainstream, aesthetic."

"Semerdeka lo deh Bar," ucap Daniel. "Btw, lo seriusan nggak mau ceraiin si wanita bertopeng hitam itu?"

Jika ditanya seperti itu, Bara merasa seperti dihantam pertanyaan yang berat. Bara menghela nafas pelan. "Gue nggak tau."

Raphael kembali duduk di atas sofa, karena tadi dia lesehan di lantai. Laki-laki itu menepuk pelan bahu Bara. Mereka sudah lama bersama, walaupun Bara susah untuk diterka tapi teman-temannya berusaha memahami.

"Nggak biasanya lo kek gini, Bar. Biasanya juga lo nggak pernah serius ama cewek," ucap Raphael. Ia mencoba serius, walau raut mukanya tetap mengesalkan.

"Ya beda cerita lah, kan Aina istri gue." Bara masih sangat santai menanggapi, walaupun teman-temannya semakin tidak mengerti.

"Bara, lo ingetkan sering kali lo bilang kalo nggak mau menikah?" tanya Evans.

Bara angkat bahu. "Ya mau bagaimana lagi, dia udah hamil anak gue."

Mereka semua kenal Bara, laki-laki itu tidak akan membiarkan masalah lama berkediaman dalam hidupnya. Jelas saja, Aina adalah sebuah masalah. Bara itu bukan orang berbaik hati pada orang lain, bahkan bisa sangat kejam dengan peganggu.

Jika Bara tidak suka, maka dia akan bilang tidak suka. Laki-laki itu sangat tidak menyukai seorang wanita yang menurutnya sok alim, seperti berhijab apalagi bercadar. Tapi dia juga tidak pernah suka pada cewek manapun, kecuali mamanya. Intinya dia tidak menyukai wanita. Sampai pernah dilabel homo oleh orang-orang.

Bara sangat sulit menerima orang baru dalam hidupnya. Apalagi Aina yang mendadak jadi istri.

"Lo yakin nggak mau cerai, nggak usah muna deh Bara. Kita tau banget, lo paling nggak suka ama cewek cadaran. Dan sekarang, lo malah punya istri bercadar. Gimana ceritanya lo bisa bertahan," kata Daniel. Bukan berniat untuk mengompori, hanya saja itu adalah kenyataannya.

Bara tidak menyangkal, benar apa yang dikatakan oleh Daniel. Tapi, ada hal yang bersembunyi di hati Bara, sesuatu yang sangat memberikan tekanan pada dirinya agar mempertahankan hubungan rumah tangganya.

"Dia anak bang Andra. Gue nggak mungkin ngelakuin hal semena-mena," ucap Bara. Dia menunduk saat mengatakan hal itu. Jelas sekali, dia berbohong. Jika masalah Andra, ia bisa dengan mudah menyelesaikan. Bisa menentang, meskipun begitu hubungannya dengan Bara pasti akan baik-baik saja.

Bodohnya, teman-teman Bara mengangguk seolah mengerti situasi. Memang benar, menyakiti anaknya sama saja menyakiti Andra.

Evans menatap intens Bara, dia tahu jika saat ini sahabatnya itu sedang berbohong. Atau mungkin setengahnya benar dan tidak. Di antara mereka, Evans lah yang paling handal dan meneliti.

Evans berteman dari kecil dengan Bara, telah paham seluk beluk kehidupan laki-laki itu. Bara memang tidak pernah menutupi kehidupannya pada anggota inti Tiger, tapi ada begitu banyak hal misterius yang masih abu-abu yang tidak bisa mereka tafsirkan. Dan Evans bisa menafsirkan semua itu.

Arya beranjak dari duduknya. "Keknya udah bel, ngantin yok," ajaknya.

Tentu saja mereka semua menyerukan kembali ajakan Arya. Ya, beginilah hidup mereka. Datang ke sekolah hanya untuk memperindah absen, ke kantin, dan tawuran.

Tawuran dalam artian kata bagi mereka adalah sebuah tindakan dalam penyelamatan orang lain ataupun diri sendiri. Tawuran adalah hobi, memebela harga diri.

Saat Daniel, Arya dan Raphael sudah meninggalkan tempat sebelumnya. Bara hendak menyusul mereka, tapi tangannya dengan segera ditahan oleh Evans.

"Apa yang sebenarnya terjadi malam itu?" tanya Evans tiba-tiba.






Bayi Di Balik Seragam SMA (Lengkap) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang