19. KUHANYA KHAWATIR

60.5K 5.5K 55
                                    

Maafkan banyak typo


Mata Aina makin melebar. "Astagfirullahalazim." Aina menutup rapat matanya kembali. "Ya Allah, mata Aina ternoda. Huaaa... ya Allah."

Tangan Aina yang tadinya sudah membuka setengah baju Bara, menghentikan aksinya.

Bara menaikan sebelah alisnya. "Kenapa hm?" tanyanya.

Aina menggeleng, ia hendak berdiri, tapi tangannya segera ditahan oleh Bara.

"Mau ke mana?" tanya Bara. Ia seolah tidak mengerti alasan mengapa Aina menjadi seperti ini.

Aina masih memejamkan erat matanya, seakan di depannya saat ini adalah hantu. "Kak, lepasin tangan Aina."

Bara menggeleng. "Ngga bisa semudah itu." Ia menarik tangan Aina. "Sini balik duduk, lo harus ngobatin luka gue, karena lo udah nyubit tadi."

Tidak bisa menolak, Aina kembali menjatuhkan diri di tempat dia duduk tadi. Bara tersenyum kecil, menurutnya tingkah Aina itu menggemaskan. Apalagi ditambah pipinya yang memerah dikarenakan malu.

"Buka mata lo," titah Bara. Aina menurut dengan perkataan sang suami, dibuktikan saat dia mulai perlahan menggerakkan kelopak matanya, hingga memperlihatkan matanya yang belo.

Bara yang masih memegang tangan Aina, ia mengarahkan organ itu ke bagian perutnya yang luka lembam karena pukulan ayah mertua tadi.

"Obatin luka gue," pinta Bara dengan nada tidak ingin dibantah.

"Hah?" Aina kembali melebarkan matanya.

Bara menaikan sebelah alisnya. "Kenapa, ada yang salah?"

Bagi Aina tidak masalah jika Bara meminta tolong padanya, tapi masalahnya bagian perut yang dimaksud oleh Bara itu adalah bagian di mana terbentuknya otot kotak-kotak, yang membuat Aina gugup.

Aina mau tidak mau menganggukkan kepalanya, tanda persetujuan dirinya. Aina hendak kembali berdiri.

"Ck, lo mau kemana lagi?!" geram Bara.

"A-nu Kak, mau ngambil P3K."

"Ouh... yaudah sana!"

Aina dengan cepat bergerak menjauh dari Bara. Ia melekatkan telapak tangannya ke dada, terasa jelas jantung yang berpacu cepat di sana.

Aina berjalan ke meja yang tidak jauh darinya, guna mengambil benda yang dibutuhkan tidak hanya P3K tapi juga es batu dan kain. Setelah itu dia kembali pada Bara.

Bara yang kini beralih bersandar pada sandaran ranjang dengan baju masih tersingkap memperlihatkan perutnya. Laki-laki itu memejamkan matanya, menikmati setiap rasa sakit di badannya.

Aina menatap kasihan terhadap suaminya, ia naik ke atas ranjang menghadap pada Bara.

"Kenapa bisa kek gini sih, Kak?" tanya Aina dengan nada lembut. Padahal dia sudah mengeluarkan intonasi suara marah. Ya, begitulah marahnya seorang Aina, lembut.

Bara perlahan membuka matanya, hanya tersenyum tipis. "Bukan urusan lo," jawabnya.

Setelah itu, Aina tidak mengeluarkan sepatah katapun lagi, ia mulai mengerjakan tugasnya.

Dengan ragu, Aina mendekatkan tangannya ke perut kotak Bara ia berusaha sedemikian mungkin agar tangannya tidak menyentuh kulit Bara.

"Lo jijik ama gue?" tanya Bara masih tetap memejamkan mata.

Aina sontak menggeleng. Namun, ia tidak mengeluarkan suara, fokus mengkompres lebam yang membiru di perut Bara.

Bara masih memejamkan matanya, tapi tidak disadari oleh Aina tangan Bara mendekat ke tangannya dan menangkapnya.

Entah apa tujuannya, Bara melekatkan tangan lembut Aina di atas perutnya yang tercetak kotak-kotak sempurna.

Aina membelalakan matanya, tentu ia terkejut. "Kak, apa yang-"

"Sstt... diam," titah Bara dengan suara yang santai. Dan anehnya, ia semakin menahan tangan Aina yang hendak beranjak.

Sejujurnya, ada rasa kesal di diri Bara. Entah kenapa, ia tidak suka seakan Aina jijik menyentuh dirinya yang notabenenya adalah sang suami. Di saat wanita lain di luar sana sangat ingin berada di dekat Bara.

"Kak, lepasin tangan Aina," pinta gadis itu. Seakan menulikan telinga, Bara terlihat acuh, menikmati sensasi dingin dari batu es yang semakin tertekan kuat di lukanya.

"Kak... ihh. Tuh kan, pasti ini sakit!" Aina yang berusaha melepaskan tangannya, justru membuat batu es di tangannya tertekan kuat ke dalam luka.

Hormon kehamilan memang membuat Aina sering cengeng akhir-akhir ini, bahkan hanya karena hal sepele. Seperti saat ini, dia menjatuhkan air mata karena ia merasa telah menambah sakit luka di perut suaminya.

Bara mengerutkan keningnya, heran mengapa tangan Aina tidak bergerak lagi untuk memberontak ataupun mengobatinya.

Bara perlahan mengangkat kelopak matanya, hingga mata hitam legamnya telihat. Ia sedikit terkejut, saat mendengar isakan tangis Aina. Air mata gadis itu menetes mengenai luka Bara.

"Lo kenapa nangis?" tanya Bara. Ia melepaskan pergelangan tangan Aina.

"Aina udah nyakitin kamu, hiks." Aina tertunduk. Tangannya semakin meremas batu es dalam genggaman.

Bara menaikan alisnya, semakin dibuat bingung. "Ck, gue nggak kesakitan samsek saat tangan lo ngobatin gue, malah menikmati," ujarnya ceplas-ceplos.

Beberapa detik kemudian, Bara dan Aina sama-sama terkejut karena baru mencerna makna dari setiap kalimat yang Bara utarakan beberapa saat lalu.

"Maksudnya menikmati apa, Kak?" Dikarenakan sebuah kemungkinan berlayar di otaknya, Aina tidak menangis lagi.

Bara berusaha menelan salivanya yang tersangkut di leher, ia segera beranjak dari duduknya dan meninggalkan ranjang.

"Eh, lupain aja." Bara bergerak kikuk menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, lalu beranjak pergi ke dalam kamar mandi.

Aina menatap punggung tegap Bara yang mulai menjauh, hingga menghilang. Tidak disadari Aina, bahunya merosot, ia menghembuskan nafas lega.

"Kenapa ya, kalo lagi deket ama kak Bara, aku tuh selalu deg-degan." Aina bergumam, mengetuk-ngetuk jari telunjuknya di dagu.

"Hm, mungkin bawaan dari dedek." Aina mengusap perutnya yang masih datar. "Aduh, kapan ya kamu lahir. Mama udah nggak sabar. Hehehe." Aina menyadarkan diri pada kepala ranjang.

Pikiran Aina melayang, kembali terpaku pada kenyataan. Sekarang dia tidak menyalahkan hadirnya janin di rahimnya, namun dia masih tidak tahu dan mengerti keadaan.

Aina jijik terhadap dirinya sendiri, karena baginya, ia sudah melakukan kesalahan besar. Sebuah perzinaan yang berakhir hadirinya seorang nyawa.

"Aina hanya menghawatirkan masa depan anak ini nanti, pasti akan sangat berat. Aina sudah pernah merasakannya," ungkapnya tulus pada angin.

Pura-pura baik-baik saja di hadapan orang itu sangat menyakitkan, ya itu yang selama ini Aina lakukan. Pada saat dia masih menyembunyikan kandungannya terhadap kedua orang tuanya.

Aina mengangkat lengannya untuk bertengger di atas keningnya. "Bolehkah aku menangis?" tanya Aina saat setetes air mata mengalir di pipinya.

"17 tahun, di umur segini Allah memberikan rasa sakit yang luar biasa." Aina menutup dengan kedua telapak tangan wajahnya yang bersimbah air mata.

Tidak disadari oleh Aina, sedari tadi Bara sudah berdiri tidak jauh darinya dengan hanya menggunakan celana abu-abu SMA tanpa menggunakan baju.

Bara memilih untuk kembali ke kamar mandi, sejujurnya dia juga bingung untuk menafsirkan keadaan yang sedang terjadi.

Bara tidak pernah memiliki mimpi mempunyai istri bercadar, sholeha, apalagi dalam waktu dekat. Bahkan, tak terlintas di benaknya akan menjadi seorang ayah di umur masih sangat muda.

"Gue takut tentang masa depan kita, tidak ada cinta di rumah tangga ini, lalu bagaimana kita akan menjalani ini semua?" Bara berperang pikir dengan wajah mengarah ke arah cermin wastafel.

Besok Bara dan Aina akan hadir lagi di antara kita 😘






Bayi Di Balik Seragam SMA (Lengkap) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang