29. ABANG AGAS

52.8K 5K 160
                                    

Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh. Aku datang. Ehek. Sebenarnya mau up kemaren, tapi karena terlalu asik rebahan sampai luap diriku.

"Dion tidak terlalu parah, hanya tulangnya yang patah dan gigi. Kami semua lagi di rumah sakit sekarang," lapor orang di seberang telepon.

"Siapa yang nyuruh kalian bertindak!?"

"Kami cuma nyerang mereka, itupun nggak niat sama sekali. Kebetulan aja mereka lewat di hadapan kita, ya bearti ini adalah salah mereka. Lagian  ini nggak sebanding lah, apa yang udah mereka perbuat ama kita."

"Kan gue udah bilang, jangan melakukan apapun sebelum dapat perintah dari gue?" Walaupun nada suara Aina terdengar biasa saja, bahkan terkesan lemah lembut. Namun, tetap saja ada sirat ketegasan di sana.

Saat ini, Aina masih berada di rumah sakit atau lebih tepatnya di toilet. Dia sengaja mencari tempat yang sepi, untuk mengangkat telpon.

"Ngga perlu bertindak jauh, biar gue aja yang nyelesain masalah ini." Walaupun Aina jarang memperlihatkan expresi amarahnya. Namun, sekarang sangat terlihat raut merah padam di wajahnya.

Kata, lo-gue hampir tidak pernah lagi keluar dari bibir Aina, karena panggilan itu hanya dia gunakan untuk teman-temannya.

Aina mematikan sebelah pihak sambungan telpon, tidak lupa juga sebelum melakukan itu ia mengucapkan salam terlebih dahulu.

Aina memandang dirinya di depan cermin wastafel, di balik cadarnya ada wajah yang masih pucat. Sebenarnya, dia memaksakan diri untuk pulang dari rumah sakit, bahkan hari belum menjelang malam.

"Kak Bara ke mana, ya?" Benar saja, setelah Bara keluar ruangan Aina dengan rasa marah, sampai detik ini pemuda itu belum menyembulkan batang hidungnya lagi.

Aina menggelengkan kepala, dia tidak ingin pikirannya terbagi menjadi dua. Masalah Bara, entah mengapa setelah mereka menikah Aina menjadi sedikit memberi perhatian pada Bara.

"Ah, lebih baik aku fokus sama masalah yang ada di depan mata." Aina kembali mengutak-atik ponselnya, kali ini dia akan menelpon orang kepercayaannya.

Tidak lama menunggu, panggilan itu tersambung. "Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh." Aina tidak pernah melupakan salam.

"Awasi mereka, jangan sampai mereka melakukan hal itu lagi."

"Baik, Queen."

"Dan ya, tetap lakukan penyelidikan lebih mendalam tentang kasus itu," titah Aina.

"Tapi Queen, bukankah kita sudah tau siapa pelakunya?"

Aina menggeleng. "Firasatku, tidak mungkin dia pelakunya. Ah, sudahlah, kamu selidiki lagi."

"Baik, Queen."

Setelah memastikan tidak ada lagi yang ingin dibicarakan, Aina terlebih dahulu memutuskan sambungan. Ya, itu sudah menjadi kebiasaan antara dirinya dan teman-temannya, karena jika bukan Aina yang memutuskan sambungan telepon terlebih dahulu maka sambungan itu tidak akan terputus.

"Sebaiknya aku cepat pulang." Aina keluar dari toilet dan ruang VVIP ruangnya dirawat. Tidak perlu memikirkan masalah pembayaran, semua sudah dibayar oleh Mira.

Aina tidak tahu apa hubungan Mira dan suaminya, tapi yang jelas Bara seperti tidak menyukai akan kehadiran Mira.

Sesampainya di parkiran rumah sakit, Aina terdiam sejenak memandang puluhan kendaraan di hadapannya. Namun, tidak ada yang menjadi miliknya.

"Huft... Kak Bara ke mana sih, tega banget ninggalin aku sendirian."

Hari sudah semakin sore, Aina tidak tahu harus pulang menggunakan apa dan ke mana. Mama Diana sudah mengatakan, jika hari ini pulang sekolah dia harus pulang ke rumah Bara. Tapi, masalahnya, Aina tidak tahu di mana itu.

Bayi Di Balik Seragam SMA (Lengkap) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang