23. TINDAKAN AINA

56.7K 5.1K 184
                                    

"Maafkan aku, benar-benar tidak bisa melakukan itu," ucap Aina penuh penyesalan. Dia berucap sangat pelan, takut didengar oleh orang lain apa yang sedang dia bicarakan lewat telpon.

"Sudah cukup seperti selama ini, aku tidak bisa membantu lebih. Dari awal aku sudah bilang tentang hal ini," ujar Aina. Dia terlihat begitu tegas dalam mengatakan itu.

"Kami mohon, queen satu-satunya harapan yang ada."

Aina menggeleng, tidak dia tidak ingin terjun lebih jauh lagi dalam lubang itu. Aina takut, apa yang selama ini dia lakukan adalah hal yang salah.

"Pikirkan lagi, tolonglah. Ini akan sangat bahaya." Suara di seberang sana terdengar sangat lirih, tanda keputus asaan.

"Aku mohon, kalian jangan seperti ini. Mengertilah posisiku. Jangan menggangguku lagi aku tidak mau kembali ke sana. Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh."

Setelah itu, Aina mematikan sebelah pihak sambungan telpon. Aina mematut dirinya di kaca wastafel. Tadi sebelum melangkah ke kantin, Aina pamit pada Astrid untuk ke toilet.

Aina sengaja menjauh dari tempat ramai, guna mengangkat telpon dari seseorang. Aina tahu, ini pasti akan menjadi pembicaraan yang serius.

Salah besar, jika Aina mengira tidak ada yang mendengar pembicaraannya. Karena sedari tadi, ada seorang laki-laki yang berada di luar toilet menguping.

"Apa maksudnya?" guman laki-laki itu. Namun dia hanya angkat bahu, toh itu bukan urusan dia. Ia lebih memilih untuk hengkang pergi.

Di dalam toilet, Aina memandang lamat dirinya di dalam cermin. Tangannya terangkat memijit kening, dia merasa sedikit pusing. Mungkin karena bawaan saat hamil ataupun karena masalah yang silih berganti datang.

"Semoga kamu cepet kembali," tutur Aina.

                             ****

Wajah Aina sudah seperti mayat hidup, sangat pucat. Tapi untungnya tertutupi oleh cadar. Aina berjalan pelan ke arah kantin, Astrid pasti sudah menunggunya di sana.

Benar saja saat Aina menginjakkan kaki di pintu kantin, ia mengedarkan pandang bisa melihat Astrid melambaikan tangan ke arahnya.

Aina tersenyum di balik cadarnya, ia berjalan menghampiri Astrid yang duduk di salah satu sudut. Tanpa sengaja, saat Aina menyapu pandang matanya bertubrukan dengan mata seorang laki-laki yang sangat dia hindari jika berada di lingkungan sekolah.

Dalam secepat kilat, Aina menunduk memutuskan pandang. Aina mempercepat langkahnya, sampai dia berada di dekat Astrid dan duduk di sebelah wanita itu membelakangi tempat Bara dan kawan-kawannya duduk.

"Kok lo lama banget sih?" omel Astrid.

"Tadi aku lagi ada urusan sebentar," jawab Aina seadanya.

Astrid menggelengkan kepala. "Kebiasaan lo, kalo ke toilet selalu lama. Ck, sampe lumutan gue nungguin." Astrid menyodorkan semangkuk mie ayam ke arah Aina. "Nih gue pesenin."

Aina dengan senang hati menerima makanan itu. "Terimakasih."

"Sama-sama bumil," ucap Astrid memelankan suara saat mengatakan kata bumil.

Selanjutnya, mereka berdua sama-sama hikmat menikmati makanan masing-masing. Namun, beberapa saat Astrid berhenti menyuapkan makanan ke mulut karena dia melihat pemandangan yang tidak mengenakkan di depannya.

"Ck, dasar buaya. Udah beristri, masih aja suka ngerayu," batin Astrid. Untuk melampiaskan rasa kesalnya, tanpa sadar ia menggenggam erat garpu dan sendok di tangannya.

Sayangnya, Aina tidak menyadari perubahan diri sahabatnya itu. Dia terlalu fokus pada makanan di depannya.

"Sstt..." Aina tiba-tiba saja meringis, saat merasakan kepalanya berdengung dan perutnya seperti penuh mendesak ingin mengeluarkan isi. Padahal, ia baru saja menyuapkan tiga suap makanan tapi rasanya sudah sangat kenyang.

Astrid menyadari Aina yang kesakitan, refleks merasa panik. Dia mengambil air yang tadi dia beli, dan memberikannya pada Aina.

"Lo nggak papa?" tanya Astrid.

Aina menggeleng. "Nggak apa-apa kok, cuma pusing. Stts..." Wanita itu kembali meringis, dia memegang kepalanya, padangan mata seperti berkeliling. Aina menunduk.

Brakk...

Botol air yang seharusnya dipegang oleh Aina, dengan tangan lemas wanita itu melepaskan pegangannya.

"Serius lo nggak papa?" Astrid semakin panik. Dia mendekat ke arah Aina, dan memeluk wanita itu. Bisa dirasakan oleh Astrid, badan sahabatnya itu panas.

"Lo sakit?" tanya Astrid.

Aina tidak menjawab, dia sibuk mengontrol rasa sakit yang mendera kepalanya. Dia mengucap istighfar, berharap sakit itu hilang.

Tidak jauh dari Aina dan Astrid, ada sepasang mata yang memperhatikan interaksi keduanya. Mata tajam itu tidak lepas menatap diri Aina.

Di tempat mata tajam itu, yang tak lain adalah Bara. Di sebelah laki-laki itu, ada seorang wanita berseragam SMA tapi sangat ketat, rok yang pendek, rambut dicat berwarna merah maroon. Siapa lagi, jika bukan Amanda Ramiaza Taneja. Atau yang biasa disebut Aza.

Aza adalah fans garis keras Bara, sekaligus sebagai wanita yang terus bertahan mengejar, menempel seperti perangko pada Bara. Walaupun sudah kerap kali kehadirannya tidak diterima Bara maupun teman-temannya.

"Heh, rambut jagung! Pergi lo jauh-jauh dari gue!" tegas Bara. Namun, bukannya pergi, justru semakin menempelkan diri pada bahu tegap Bara.

"Ihh... Bara, gue kan mau ama bebeb. Masa suruh pergi," rengek Aza. Yang menggelantungkan lengannya di leher Bara, tentu saja hal itu menarik perhatian orang-orang yang berada di kantin.

Bara menatap tajam tangan Aza. "Lepas nggak! Atau gue patahin tangan lo!" ucap tegas Bara, dia tidak main dengan ucapannya. Tapi, ia tak merealisasikan keinginannya, karena tidak ingin mencari keributan dengan seorang perempuan.

Ah, bukannya Bara tidak mau kejam pada seorang perempuan, tapi saat ini dia sedang tidak mood.

Teman-teman Bara hanya menyaksikan tingkah yang menjijikkan seorang Aza menurut mereka. Aza memang memiliki wajah yang tebal.

"Aza, mending lo pergi deh. Ganggu nafsu makan gue aja lo," saran Raphael, karena dia sedari tadi sudah muak dengan tingkah Aza yang seakan-akan orang istimewa bagi Bara.

"Ih, siapa lo ngatur-ngatur gue. Toh, bebeb Bara juga nggak marah. Wlee!"

Perdebatan mereka tidak sampai di situ, karena Aza dengan sifat keras kepalanya itu masih tetap keukeuh ingin berada di tetap di dekat Bara.

Bara mengambil tisu di atas meja, ia melapisi tangannya sebelum menyentuh kulit tangan Aza dan menghempaskannya dengan kasar dari tubuhnya. Tidak sampai di situ, dia juga mendorong cukup kasar tubuh Aza.

"Huft, lega gue," guman Bara. Ia merasa jijik melihat Aza yang kembali mencoba mendekat. Bara memutar bola matanya, jengah.

"Berani lo mendekat, gue patahin kaki lo!" peringat Bara.

Aza lagi-lagi tidak memperdulikannya, karena dia yakin Bara tidak akan memperlakukan itu.

"Gue kan dah bilang, lo itu milik gue." Aza mulai kembali mendekat ke arah Bara, ia berniat untuk duduk di pangkuan Bara.

Namun, pergerakan Aza kalah cepat dengan seorang gadis yang tiba-tiba saja duduk di pangkuan Bara, seraya merangkul leher laki-laki itu. Dia menenggelamkan wajahnya di dada bidang milik Bara.

Bara dan teman-temannya tentu terkejut bukan main, dengan apa yang mereka lihat saat ini. Terutama Bara. Dia shok, ia tertegun karena tiba-tiba Aina datang dan memeluknya.

Perlakuan Aina beberapa saat lalu membuat penghuni kanti heboh, mereka semua ternganga tidak percaya dengan apa yang gadis bercadar itu lakukan.

Perlahan, angin-angin keghibahan mulai menyerembab di antar mulut murid-murid yang menyaksikan. Tidak banyak dari mereka, yang tidak mengabdikan moment saat ini. Flash kamera semua mengacungkan pada Aina dan Bara.

Bayi Di Balik Seragam SMA (Lengkap) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang