44. PENYAMBUTAN QUEEN

52.5K 5.4K 722
                                    

Suasana ruangan VVIP yang ditempati Bara kini terlihat sunyi, karena sang penghuni sibuk dengan urusan masing-masing. Hari sudah beranjak kelam, kini hanya tinggal Barang dan Aina saja yang berada di ruang rawat fasilitas mewah itu.

Bara sedari tadi diam memperhatikan Aina yang selesai sholat berjamaah dengan Bara menjadi imam, gadis itu langsung beranjak ke arah sofa di salah-satu sudut.

Bara terheran, karena Aina menampilkan wajah cemberut. Gadis itu menyandarkan tubuh ke sandaran sofa, dengan tangan bersedekap dada. Bara menyadari, jika gadisnya itu tengah murung.

"Ai, sini," panggil Bara, dengan nada lembut. Namun, anehnya baru kali ini Bara merasa diacuhkan oleh Aina.

"Aina," panggil Bara lagi.

Bukannya tidak mendengar, Aina sadar suaminya memanggil tapi entah kenapa dirinya masih menyimpan rasa kesal tidak ingin diganggu oleh siapapun. Mood Aina sedang tidak baik.

"Aina, sini. Gue mau ngomong," ujar Bara. Tapi, lagi-lagi tidak dihiraukan Aina.

Bara menghembuskan nafas berat, sepertinya dia ada membuat kesalahan. Tapi, perasaan dirinya tidak ada mengatakan apapun yang menyinggung Aina. Mungkin, karena hormon kehamilan yang membuat Aina menjadi seperti sekarang.

"Istriku," panggil lembut Bara. Seakan itu adalah kata ajaib, dalam sekejap Aina yang sedari tadi menunduk kini mendongakkan kepalanya.

Tidak disadari oleh Aina, rona merah menjalar di permukaan wajahnya. Aina masih tertegun, semua adalah ulah Bara yang memanggilnya dengan sebutan yang tidak pernah sebelumnya dia ucapkan.

"Gue nggak bisa ke sana, jadi lo aja yang ke sini," ucap Bara. Dia menepuk bagian ranjang yang ada di sebelahnya.

Dengan sedikit ragu, Aina beranjak dari sofa. Langkahnya sangat pelan, mendekati tempat di mana Bara berada. Seandainya Bara tidak sedang dalam keadaan sakit, mungkin pemuda itu akan menyeret Aina kepadanya.

Sesampainya di dekat Bara, Aina dengan telaten mendudukkan diri di sebelah Bara. Untunglah, brankar yang ada di rumah VVIP cukup luas.

Rasa gugup secara mendadak menyerang Aina, saat berada dalam jarak sangat dekat dengan Bara. Aina memandang lamat ke arah lantai, guna menetralisir rasa yang ada.

"Apa lantai lebih menarik dari pada natap gue?" tanya Bara. Pemuda itu merangkul bahu Aina, menarik sedikit agar jarak mereka semakin dekat.

"Liat sini," titah Bara. Aina tidak menolak, dengan perlahan dia mengalihkan pandangannya hingga terkunci pada tunak mata Bara nan tajam.

"Gue ada buat salah?" tanya Bara. Dia menyerah, sudah tidak tahan lagi didiamkan oleh Aina. Lebih baik, dia menurunkan sedikit gengsinya.

Aina menggeleng pelan, dengan tatapan masih setia pada tunak mata Bara. "Aina pengen ikut," lirihnya.

Sontak alis Bara terangkat sebelah. Beberapa detik kemudian, dia baru mengerti apa maksud dari ucapan Aina.

"Cuma sebentar gue di sana. Yang ada, kalo lo ikut lo akan bosan di rumah sakit terus. Mending di sini, lo kan sekolah." Bara mencoba membujuk. Jika dalam mode Bara yang sebelumnya, mungkin ia akan kesal dengan Aina karena ia sudah berulang kali menjelaskan.

Namun, bukannya kesal, Bara justru senang karena Aina tidak mau berpisah dengannya. Bara sedikit belajar, menghadapi sikap seorang istri. Harus menggunakan hati dan nada suara yang lembut.

Aina memilin ujung mukenanya. "Aina nggak mau jauh dari Kakak."

Sontak Bara menyunggingkan senyum. "Ciee yang nggak mau pisah. Takut kangen ya," goda Bara.

Bayi Di Balik Seragam SMA (Lengkap) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang