Bara merasa seolah pasokan udara berkurang di sekitarnya. Dengan susah payah ia menelan salivanya yang terasa tersangkut di tenggorokan.
Tadinya Bara memutuskan untuk meninggalkan Aina, karena permintaan gadis itu. Namun, Bara mengurungkan niatnya untuk pergi, dan mengikuti Aina dari belakang.
Bara sempat terkejut melihat Aina masuk ke rumah besar, yang pernah beberapa kali Bara injakan kaki di sana. Namun, Bara menepis kemungkinan itu. Bara memutuskan untuk ikut masuk. Untungnya karena Bara beberapa kali ke rumah itu, pak satpam sedikit kenal dan mempersilahkan Bara masuk.
Di depan pintu, Bara terdiam melihat dan mendengar percakapan orang-orang yang ada di dalam. Jadilah, akhirnya Bara menguping pembicaraan tersebut, yang membuatnya tambah, bingung, gemetar, takut, segala rasa bercampur aduk dalam dirinya.
"Siapa yang melakukan ini sama kamu, Aina?"
"Aina tidak salah, gue yang salah." Bara memberanikan diri mengatakan hal itu.
Bara bisa melihat Aina dan ayahnya menoleh padanya. Namun, fokus Bara tertuju pada Andra. "Bang Andra."
Tidak salah lagi, Bara saat ini dalam bahaya. "Matilah kau Bara," batin Bara.
Bara memperlihatkan raut wajah tenangnya untuk menipu orang-orang, bahwa saat ini dia tidak dalam masalah apa-apa.
Kepalan tangan Andra makin mengerat. Andra menyeret Bara masuk ke dalam rumah. Setelah sampai, Andra dengan tanpa ampun memukuli Bara, yang belum siap dengan pergerakan cepat Andra. Sedangkan Bapak satu anak itu memegang kerah baju SMA Bara, dan memukuli wajah tampan milik remaja itu.
Bugh..
Plakk...
"Aggrrt..."
Bara hanya menerima tanpa melawan pukulan dan tendangan, yang dilayangkan untuknya. Tidak peduli seberapa sakit yang diterima oleh tubuhnya, ia lebih memilih untuk diam menahannya.
Aina menatap kasihan terhadap Bara, dia ingin menolong tapi ia pun tidak bisa melakukan apa-apa. Aina mencoba menarik papanya, agar berhenti memukuli Bara, tapi tidak berefek apa-apa.
"Ayah, udah! Kasihan Bara nya," teriak histeris Aina, karena melihat Bara yang sudah kehilangan tenaga. Bara terkulai, tapi Andra masih memberikan bogeman untuk laki-laki itu.
Tidak hanya Aina, Zaida juga berusaha menghentikan suaminya yang seperti sudah kalang-kabut. Emosi Andra sudah sampai ubun-ubun. Darahnya mendidih mendengar berita tadi, dan sekarang ia tidak akan mengampuni orang yang telah menghancurkan putrinya.
"Mas, udah!" Zaida menarik tangan Andra, tapi ditepis oleh sang empu.
Aina sudah tidak tau bagaimana lagi cara menghentikan ayahnya. Ia memegang kepalanya yang tiba-tiba saja sakit. Hanya satu yang terlintas. Aina berlari, lalu memeluk tubuh Bara yang sudah terkapar. Aina menghalangi tubuh Bara dari pukulan ayahnya.
"Kalau ayah mau pukul Bara, maka ayah juga harus memukul aku!" Aina mengucapkan itu dengan berderaikan air mata, yang membasahi cadar nya.
"Aina, minggir!" titah Andra geram. Aina menggeleng.
"Kalo ayah mukul kak Bara terus, nanti dia mati. Trus, janin yang ada di perut Aina nggak punya ayah lagi. Masa belum lahir udah jadi anak yatim?" ucap Aina panjang lebar menjelaskan, dengan masih sesegukan dan tangisnya yang ia tahan agar tidak meledak.
"Udah mas, kita bicarakan baik-baik," imbuh Zaida, yang kasihan melihat tangisan Aina.
"Bangun kamu!" suruh Andra, menujuk Bara yang lemah tak berdaya, berusaha mengumpulkan tenaga untuk bangun.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bayi Di Balik Seragam SMA (Lengkap)
RandomGadis bercadar, hafizah al-quran, taat agama, dinyatakan hamil di luar ikatan pernikahan. Saat masih kelas XI masa berseragam putih abu-abu. ~~~~×××~~~~ Tidak ada yang tau, kenapa gadis itu selalu menggunakan jaket, ketika ia kel...