28. PENOLAKAN AINA

51.5K 5.5K 810
                                    

WARNING: Typo bertebaran. Aku ngga revisi. Saking semangatnya mau up 🤣

Lidah Aina kelu, dia tidak bisa berkata apa-apa lagi saat ini. Pandangannya jatuh pada Bara yang masih terlihat santai.

Aina mengehela nafas kecewa, padahal tadinya dia berharap ada rasa cemburu untuknya dari Bara. Namun, apalah dia pernikahan mereka sama-sama tidak ada yang menginginkan.

"Aina," panggil Husein agar fokus pandang Aina kepadanya. "Saya tahu ini terlalu cepat, saya ingin mengatakan jika perasaan kamu tidak bertepuk sebelah tangan karena saya juga cinta sama kamu," ujar Husein. Dia memejamkan mata, sungguh saat ini dia merasa gugup.

Aina menggeleng lemah, situasi saat ini begitu terasa aneh baginya. Dia terjebak di dalam keadaan bimbang dan bingung, tidak tahu caranya bagaimana agar Husein tidak mengatakan lebih banyak kata lagi.

"Kak, tidak seharusnya dua insan yang bukan mahram mengutarakan rasa cinta tanpa hubungan apapun. Kecuali, jika memiliki niat untuk menghalalkan," jelas Aina. Dia ingin perlahan menolak Husein.

Aina sadar diri, jika saat ini dia sudah menjadi istri orang. Dia tidak ingin mendapatkan dosa, mencintai laki-laki lain sementara dirinya sudah menikah.

Husein mengangguk. "Iya saya paham betul akan hal itu, maka dari itu saya berniat untuk memiliki hubungan yang halal bersama kamu."

"Tapi Kak, kita-" Saat Aina hendak berucap, Husein dengan segera memotong.

"Saya paham, jika yang kamu khawatirkan saat ini kita masih sekolah. Maka kamu tenang aja. Setelah saya lulus SMA sebentar lagi, saya akan bawa kamu pindah ke pesantren Abi dan kita akan menjalani hubungan rumah tangga di sana." Benar saja, sudah jauh-jauh hari Husein telah memikirkan rencana untuk masa depannya dan Aina.

Bara mendengkus tidak suka. "Dikira hidup cuma tentang nikah. Lulus sekolah, kuliah, terus kerja. Dikira Aina makan batu."

Husein refleks menoleh ke arah Bara. Seperti yang dijelaskan sebelumnya, Husein telah memikirkan semuanya termasuk finansial.

"Untuk masalah nafkah, tenang saja alhamdulillah saya sudah punya bisnis hotel sendiri. InsyaAllah cukup," ujar Husein.

Bara memutar bola matanya. "Hotel doang, 0,1 persen harta gue juga nggak bisa disaingi," batinnya.

Tunak mata Bara melihat ke arah Aina, pemuda itu lagi-lagi menghela nafas jengkel. "Ni anak lagi, ngapa nggak to the poin aja nolak."

"Ya Allah, tolonglah hamba. Ingin mengatakan yang sebenarnya pada Kak Husein, tapi takut Kak Bara tidak setuju dan marah. Tapi, jika diam saja masalahnya akan semakin panjang." Aina memejamkan matanya sejenak, pusing yang sempat hilang tadi, kini mendera lagi.

"Aina, kamu jangan salah paham, saya mengatakan ini demi kebaikan kita berdua. Jika memang kita saling punya rasa, dan sudah siap untuk ke jenjang berikutnya. Apalagi yang ditunggu? Saya hanya tidak ingin perasaan kita ini, justru menimbulkan dosa," imbuh Husein.

"Tapi Kak-" Lagi-lagi ucapan Aina terpotong, karena Husein mengangkat tangannya ke udara seraya berucap,"Sebelum kamu ngasih jawaban, saya mau permisi ke toilet dulu."

Husein merutuki dirinya sendiri, kenapa di saat seperti ini panggilan alam begitu mendesaknya. Mungkin ini adalah efek dari rasa gugupnya, ia merasa mules.

Husein bergegas ke arah sebuah pintu, yang ia yakin itu adalah sebuah toilet.

Selepas kepergian dari Husein, Bara beranjak dari duduknya. Ia membawa langkah menuju ke arah di mana tubuh Aina terbaring.

"Kak Bara." Dengan susah payah Aina meneguk ludahnya, raganya bergemang. Hatinya berteriak resah, takut akan tatapan dan sikap Bara.

Aina tidak pernah melihat Bara seperti ini sebelumnya, tatapan penuh amarah. Auranya berubah menjadi sangat dingin dan menegangkan. Setiap langkah yang Bara gerakan, Aina berkumandang di dalam hati begitu banyak doa.

Saat telah sampai di samping brankar Aina, dengan tangan di dalam kedua saku celana, Bara merunduk. Aina bisa merasakan deru nafas suaminya yang memburu.

Bara berbisik tepat di telinga Aina. "Camkan ini, mau bagaimanapun kita terpaksa menikah, tetap saja saat ini dan seterusnya kita adalah suami istri. Gue nggak pernah main-main dalam hubungan ini, gue serius Aina. Bagi gue, pernikahan adalah ikatan suci sampai akhir hayat."

Mata Aina berkaca-kaca, hatinya terenyuh mendengar setiap tuturan kalimat dari Bara, seakan menyiratkan sebuah ucapan ajaib. Aina digerogoti rasa bersalah.

Aina bingung harus bersedih ataukah bahagia. Ini adalah kali pertama, Bara mengeluarkan kalimat yang begitu panjang dan istimewanya, suara itu mengudara memberikan harapan untuk Aina.

Kesedihan yang dirasakan Aina saat ini, dikarenakan dia merasa tanpa disadari ia sudah menghianati Bara dan pernikahannya.

"Ngga ada kata selingkuh dalam ikatan suci pernikahan kita!" tegas Bara. Dia bergerak menjauh dari tubuh Aina. Bara bisa melihat mata Aina yang berkilau, karena menampung air mata.

"Kak, Kakak salah paham. Ini-"

Bara menggeleng tegas. "Gue nggak peduli ama perasaan lo ama dia. Tapi ingat, lo udah jadi istri gue, milik gue!"

Sebelum Aina berucap lagi, Bara segera membawa langkahnya menjauh. Dia tidak ingin emosi menguasai diri, dan melampiaskan semua pada Aina. Bara mengusap kasar wajahnya.

Brakk...

"Astagfirullahalazim."

Saat sampai di ambang pintu, Bara membanting pintu dengan begitu keras dan kasar, membuat Aina terlonjak kaget.

Aina menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan. Di luar kendali gadis itu, hatinya sakit dan perih melihat dan mendengar sikap Bara. Ini untuk pertama kali Aina melihat Bara semarah itu.

Hiks...

Lolos sudah, sedari tadi Aina menahan agar isakannya agar tidak keluar. Namun, tetap saja runtuh.

Cklekk...

Husein keluar dari dalam toilet, dia tertegun mendapati Aina yang menangis tersedu-sedu di bawah telapak tangan. Dan cadarnya terlihat basah.

Husein mengedarkan pandangannya ke sekeliling ruangan yang menurutnya sangat mewah itu. Tidak terlihat seperti ruang rumah sakit, melainkan hotel.

"Bara ke mana?" tanya Husein entah pada siapa. "Aina, kamu kenapa menangis?" Dengan perasaan khawatir, Husein menghampiri Aina.

Husein membiarkan Aina memuaskan diri menangis, karena mungkin gadis itu membutuhkan hal seperti itu untuk menenangkan diri.

Aina menyadari jika saat ini, ia hanya berdua dengan Husein, object yang membuat Bara marah padanya. Aina berusaha meredakan tangisnya, sampai benar-benar berhenti.

Walaupun masih sesegukan, Aina memaksakan untuk mengeluarkan suara. "Kak Husein, aku mengerti niat baik Kakak. Tapi maaf, aku ngga bisa menerimanya."

"Dan untuk masalah perasaan, memang benar Aina punya perasaan sama kakak. Tapi, itu semua hanya rasa kagum. Maaf Kak, aku baru memahami perasaanku setelah dia datang ke sisiku. Aku ngga cinta sama Kakak."

Walaupun sakit fakta yang dia terima, Husein masih bisa tersenyum. Mau bagaimanapun perasaan tidak bisa dipaksakan.

"Boleh saya tau kenapa seperti itu?" tanya Husein memberanikan diri.

Aina menatap mata Husein sekilas. "Hati aku sudah terikat satu nama Kak."

Mari tantangan lagi🤣 hehehe. Kali ini komennya 400 dan vote 330 maka aku akan up secepatnya.

WA assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh

Bayi Di Balik Seragam SMA (Lengkap) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang