ALASKA -53

20.1K 698 4
                                        

Carra berjalan menyusuri koridor sekolah dengan santai. Cewek itu tidak mengandalkan pandangannya ke arah manapun kecuali depan dan bawah. Suasana koridor yang terbilang sepi, mungkin karena masih pagi.

Carra kembali menundukkan kepalanya ke bawah menatap lantai sambil memejamkan matanya mendengar suara damai dari hembusan angin pagi yang terasa sejuk. Langkahnya terhenti saat matanya tak sengaja menatap sebuah sepatu yang terdiam di depannya saat ini.

Perlahan, Carra mendongakkan kepalanya menatap siapa dibalik orang yang mempunyai sepatu sport warna hitam itu. Wajahnya berubah datar saat mengetahui siapa orang yang mempunyai sepatu itu, tanpa lama-lama, Carra langsung berjalan mendahului orang itu cepat.

Namun sebelum berjalan lebih jauh, tangannya sudah di cekal membuat dirinya mau tak mau berhenti lalu menghela nafasnya. Carra memejamkan matanya sebentar lalu membalikkan badannya menatap orang itu semakin datar.

“Apa?” tanyanya acuh.

“Ra, maaf,” ucapnya.

Carra merasakan dadanya kembali sesak. Matanya tak sengaja menatap tangan orang itu yang di perban menyebabkan beberapa pertanyaan muncul di otaknya. Namun dengan segera, Carra menepis pikiran itu dan harus sadar!

Cowok di depannya saat ini sangatlah membuat Carra sedikit terhenyak, apalagi melihat wajah Alaska yang terlihat pucat. Tiga hari belakangan, Alaska tidak pernah absen buat ketemu Carra dan meminta maaf. Cowok itu terus saja mengikutinya kemanapun ia pergi dan terus meminta maaf, tapi ego Carra terlalu besar.

“Apa lagi?” tanya Carra muak.

“Maaf.” ucapnya membuat Carra tertawa sinis.

“Buat apa maaf? Bukannya harga diri lo jauh lebih tinggi?” sahutnya dengan cepat melipat tangan di depan dada.

Dada Alaska tercekat, ya memang dirinya semala ini selalu mementingkan harga diri dan egonya. Tanpa ia ketahui juga bahwa semuanya membawa ia dalam masalah menurutnya besar kali ini.

“Aku bisa jelasin Ra,” pintanya kembali memegang tangan Carra.

“Gak ada lagi yang bisa lo jelasin, semuanya udah beres kan?” ujarnya santai.

“Sefatal itukah?” tanya Alaska lirih.

Carra mengangguk cepat. “Ya, lo jadiin gue bahan taruhan demi apa? Harga diri lo sendiri sebagai ketua geng bukan?” jawab Carra terkekeh sinis.

“Tapi aku bisa jelasin Ra,” pinta Alaska lagi.

Tanpa Carra sadar, air matanya jatuh kembali. “Harusnya lo seneng, gak perlu ribet jelasin apa-apa karena gue udah tau niat lo selama ini jadiin gue pacar.” sahutnya.

“Dan,” Carra melepaskan cekakan Alaska menatap cowok itu tajam. “Tolong sampein ke adik lo itu, permainan yang dia buat sangatlah bagus,” lanjut Carra berbisik tepat di samping Alaska.

Cewek itu menjauhkan kembali tubuhnya menatap Alaska dengan tersenyum miring lalu berjalan meninggalkan Alaska yang terdiam mematung. Ia rasa di cukup puas, Carra tidak membenci Alaska hanya sekedar kecewa.

Ini pengalaman pertama Carra, yang akhirnya terasa di khianati. Selama ini Alaska memang tidak setiap nya memperlakukan Carra layaknya seorang pacar, tapi dengan kebiasaan mereka bersama membuat Carra merasa nyaman.

Alaska mengepalkan tangan kanannya yang di perban, merasa sedikit ngilu saat lukanya terasa tergores. Menatap kepergian Carra dengan sendu, apakah memang sejahat itu Alaska bagi Carra?

Alaska bingung, apa yang harus ia lakukan sekarang? Memperjuangkan Carra yang jelas-jelas benci kepadanya, dan seharusnya ia senang. Benar kata Carra, bukankah ini yang ia mau sedari dulu? Terlepas dari taruhan yang Mars buat, tapi kenapa rasanya malah sakit?

Alaska (REVISI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang