Chapter Two

3.2K 488 105
                                    

Halo, kembali lagi ke lapaknya Jane~

Jadi gimana chapter pertama? Udah penasaran belum? Udah suka belum? Udah sayang belum? Kalau belum, ayo atuh buruan ditumbuhin rasa sayangnya. Hehehehe

Seperti work lainnya, aku juga mau minta voment dari kalian. Karena aku suka membaca komentar kalian lebih daripada kesukaanku bacain postingan IG. Hohoho... selamat membaca~



“Love is that condition in which the happiness of another person is essential to your own.”
—Robert A. Heinlein—

“Jung Jeno! Jung Jaemin! Jung Minjeong! Sarapan sudah siap!”

Suara Jaehyun terdengar sangat jelas diikuti bunyi klotak peralatan makan yang disusun rapih di atas meja lipat di ruang tengah. Ruangan itu kecil—hanya sepetak berukuran 3x3 meter yang sempit karena dipenuhi setumpuk buku di atas meja belajar tua milik Jaehyun. Di ruangan itu pula Jaehyun akan menggelar kasur lipatnya kemudian tidur setelah belajar atau bekerja hingga lewat tengah malam. Selain Jaehyun, ruangan itu juga jadi tempat tidur untuk Jeno dan Jaemin karena rumah mereka yang sederhana hanya memiliki satu kamar—Minjeong menggunakan kamar itu karena dia satu-satunya perempuan di rumah dan selalu mengatakan kalau dia membutuhkan lebih banyak privasi.

Selama sembilan tahun terakhir, Jaehyun tidak pernah merasakan tidur lebih dari empat jam sehari—itu pun dihitung dengan waktu ketika ia secara tak sengaja ketiduran di kelas atau di perpustakaan. Setiap detik dalam hidupnya didedikasikan untuk ketiga orang adiknya yang terpaksa kehilangan kedua orang tua ketika usia mereka masih sangat belia: si kembar Jeno dan Jaemin masih berusia delapan tahun, sementara si bungsu Minjeong masih berusia lima tahun. Jaehyun yang saat itu masih berusia 13 tahun harus mengambil peran sebagai orang tua menggantikan ayahnya yang wafat karena kecelakaan kerja dan ibunya yang kabur entah kemana. Terakhir kali, sekitar delapan tahun lalu, Jaehyun dengar kalau ibunya yang cantik menikah lagi dengan pria tua bau tanah yang kaya raya dari Busan. Ketiga orang adiknya belum tahu tentang hal ini. Tapi mereka juga tidak peduli. Seorang wanita yang meninggalkan anak-anaknya untuk alasan apapun jelas tidak layak dipanggil ibu.

Sejak saat itu, Jaehyun dan ketiga orang adiknya menjalani hidup kelewat pas-pasan dengan mengandalkan uang santunan sosial dan sejumlah bantuan dari Keluarga Eunwoo. Beberapa kerabatnya cukup kaya—bahkan ada yang sangat kaya—untuk bisa membantu mereka. Tapi para kerabat itu selalu berdalih dan menunjukkan keengganan untuk membantu keempat anak-anak malang yang ditinggal kedua orang tuanya itu. Jaehyun sudah bekerja sejak usianya sangat belia. Ia tak bisa menerima kebaikan dari keluarga Eunwoo secara terus menerus kendati mereka sama sekali tidak keberatan untuk membantu keluarga kecilnya. Bahkan sejak TK hingga kelas enam SD, Minjeong selalu tinggal di rumah Eunwoo sambil menunggu Jaehyun pulang dari shift malamnya. Dia akan pulang bersama kakak tertuanya yang selalu tersenyum sambil mendengar semua ceritanya. Jaehyun kelihatan letih, tapi dia tak pernah mengabaikan ketiga adiknya—bahkan dia tak pernah mengabaikan Eunwoo kendati mereka berdua sering berseteru untuk sejumlah alasan yang tidak jelas. Dan hari ini, perseteruan lain kembali dimulai saat Jaehyun melihat Eunwoo sedang duduk di dekat Jeno—menunggu jatah sarapannya.

“Kenapa kau selalu ada di sini? Memang kau tidak punya rumah ya?” sindir Jaehyun keras.

“Ibu menyuruhku mengantarkan kimchi dan beberapa makanan lain untuk kalian. Katanya ini akan cukup untuk empat atau lima hari ke depan,” sahut Eunwoo sambil menerima semangkuk nasi dari Jaehyun. Kata-kata dan tindakan kawannya itu memang kerap kali tidak berjalan beriringan.

Winter Spring ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang