Halo, how was your week?
Cuma mau ngasih tahu kalau chapter ini lumayan panjang. But it will explain some important things about the kids. So read it slowly and carefully. Leave us some votes and comments. Hope you all enjoy it ^.^
❄
❄
❄“A guy and a girl can be just friends, but at one point or another, they will fall for each other...Maybe temporarily, maybe at the wrong time, maybe too late, or maybe forever.”
—Dave Matthews Band—Makan malam yang disajikan satu jam lalu merupakan hidangan paling enak dan mewah yang pernah disantap Jung bersaudara. Bahkan Jaemin sampai menitikkan air mata saat bulgogi yang dibuat dari daging sapi premium dan dibumbui dengan bahan-bahan segar memasuki mulutnya. Tidak ada kata yang keluar dari mulut Jeno dan Minjeong. Mereka makan dengan tenang—terlepas dari fakta bahwa sesuatu di dalam hati mereka ikut menjerit karena tiap gigitan yang masuk ke mulut terasa sangat enak.
“Aku masih memikirkan kebaikan macam apa yang sudah kuperbuat sampai bisa menyantap makanan seenak tadi. Ah, hal paling baiknya adalah kenyataan bahwa aku bisa berteman dengan orang sehebat dirimu. Bukan bermaksud memanfaatkan, tapi jika tidak bertemu denganmu, mungkin kami tak akan pernah mencicipi makanan seperti tadi,” celoteh Jaemin hanya dibalas tawa ringan oleh Hyunjin.
Mereka sedang mengeluarkan tenda dari dalam gudang, tipe gudang yang sangat rapih dan jauh dari kesan kelam seperti yang sering ditampilkan dalam film horor. Sebenarnya Hyunjin merasa sangat senang karena teman-teman barunya kelihatan sangat menikmati waktu mereka di rumahnya. Jaemin terus-terusan memuji rumahnya, seperti mengatakan kalau ruang tengah kelihatan lebih besar dan mewah dari aula pernikahan keluarga kaya, lalu kamar Hyunjin kelihatan lebih keren daripada kamar anak-anak kaya yang diperlihatkan dalam drama.
“Aku sudah memintamu datang ke sini sejak tiga bulan yang lalu,” kata Hyunjin sambil menarik semacam tongkat penyangga dari dalam lemari.
“Saat itu kita baru kenal. Dan setiap kau mengajakku, aku selalu merasa enggan,” terang Jaemin, dia membawa tiga tenda dalam genggamannya.
Tatapan Hyunjin menyeberang ke arah Jaemin yang masih berdiri di pojok kiri gudang, kawannya itu mengamati bola kempes yang kelihatan usang dan terbengkalai. Hyunjin menarik napas pelan, hanya untuk tersenyum setelah merasakan ngilu dalam hatinya. “Itu bola pertamaku,” katanya, “tapi orang tuaku tak suka melihatku bermain bola. Jadi saat bolanya kempes karena terlalu sering kumainkan dengan cara yang sangat bar-bar, mereka buru-buru menyimpannya di gudang dan tidak pernah membelikan lagi yang baru untukku. Katanya bermain bola di halaman rumah itu sedikit berbahaya dan mereka khawatir kalau tendanganku yang payah bakal menyasar ke dahi Ryujin, tahu kan kalau anak itu selalu mengikutiku.”
“Kau tidak bermain bola di sekolah? Sekolahmu punya tim sepak bola yang sangat bagus,” sahut Jaemin dengan gaya santai namun penuh pengertian.
“Tidak bisa. Izin untuk bermain hanya diberikan pada para pemain dan anak-anak yang mengambil ekstrakulikuler sepak bola. Aku tidak diizinkan mengambil ekstrakulikuler itu, sehingga secara otomatis aku tak pernah bisa bermain secara profesional. Aku hanya bermain bola saat pelajaran olahraga atau tiap ada jam kosong. Aku cukup bagus, meskipun tidak sebagus dirimu.” Hyunjin menutup kalimatnya dengan sebuah pujian.
Jaemin tertawa kecil. “Aku tidak sebagus itu.”
“Sekolahmu mengalahkan sekolahku yang dikenal punya fasilitas mumpuni dalam olahraga dan akademik. Bukan bermaksud merendahkan, tapi sekolahmu kan cuma sekolah negeri dengan dana pas-pasan. Aku juga baru ingat kalau waktu sekolahmu mengalahkan sekolahku dengan skor 5-1 tahun lalu, rumor tentang betapa hebatnya kapten tim SMA Gangdong menyebar seperti virus. Dan aku baru tahu kalau kapten tim yang ramai dibicarakan itu dirimu. Kau masuk ke dalam bagian timnas junior dan menerima banyak perhatian karena kemampuanmu yang dianggap ajaib. Jaemin, bahkan para siswi di sekolahku banyak yang mencari tahu tentangmu, alasannya tentu saja karena kau tampan dan bagus dalam olahraga.” Hyunjin tertawa saat menuturkannya. Ia menikmati ekspresi malu-malu yang ditunjukkan Jaemin.
KAMU SEDANG MEMBACA
Winter Spring ✔
Fanfiction[COMPLETED] He was the coldest winter who met his warmest spring. She was the most bitter spring who met her sweetest winter. The world knows that spring will never come beautifully without winter. Because winter and spring bond to each other, are...