Chapter Fifteen

2.4K 340 184
                                    

Halo, berapa hari ya nggak muncul? Maaf, kemarin lagi agak hectic dan anxious. Haha

I would say this part is sweet rather than hot. To boost some motivation and mood, please don't be a silent readers. I know it's your right to be one, but if you decided to not to, just leave a vote then it's all fine. Or leave a comment if you can. Thank you so much, I love you ♡♡♡



“Love is that condition in which the happiness of another person is essential to your own.”
—Robert A. Heinlein—

Rose berdiri di samping Jeno, mengamati pemuda itu mengiris dua helai bawang hijau sebagai contoh. Kedatangannya tiga puluh menit lalu sempat membuat ketiga adik Jaehyun penasaran. Perempuan itu tak pernah berkunjung sepagi ini, apalagi di hari Sabtu. Ia juga datang sendirian tanpa membawa embel-embel ‘diminta Jaehyun’ atau ‘Jaehyun sudah memberiku izin’ yang selalu ia ucapkan tiap berkunjung ke rumah Keluarga Jung. Bahkan Jaehyun baru datang dua puluh menit setelahnya—kelihatan lelah dengan bau alkohol dan darah yang menyeruak dari tubuhnya.

Kedatangan Rose sempat membuat Jaehyun terkejut. Tapi ketenangannya dapat kembali dengan cepat. Ia hanya berdehem, sebelum mengatakan, ‘Aku mandi dulu. Jeno dan Minjeong tolong siapkan sarapan. Jaemin jangan sentuh apapun,’ pada adik-adiknya. Jaehyun sempat melirik Rose sekilas, mendapati kekasihnya sedang melempar senyum penuh arti. Itu cukup untuk membuat senyumnya ikut terulas—sangat tipis.

“Tinggal dipotong kecil seperti ini. Lakukan pelan-pelan,” kata Jeno menyerahkan pisau dan tatakan pada Rose. Jika harus jujur, pemuda berambut hitam pekat itu merasa sedikit khawatir, kekasih kakaknya terlihat tidak bisa diandalkan dalam hal ini. Sehingga, didorong oleh keinginan untuk melindungi diri, Jeno menuturkan, “Kak Jaehyun akan memarahiku kalau jarimu sampai terluka. Jadi jangan sampai mengiris jarimu. Menyerah saja kalau ini terlalu sulit.”

“Menyerah itu bukan gayaku,” sahut Rose tanpa mengalihkan fokus dari pisau dan bawang daun dalam genggamannya.

“Gayamu atau bukan, kau harus memikirkan keselamatanku juga. Kakakku itu sangat peduli padamu.” Jeno kedengaran risau.

Tangan Rose berhenti bergerak. Ia mengacungkan pisau ke depan—membuat Jeno menahan napas. Tatapannya berpindah ke samping, menatap Jeno yang tidak memahami motif di balik sikap absurdnya. “Jeno, jawab pertanyaanku.”

“Kakak mau menanyakan soal kalkulus?” tanya Jeno.

Lirikan Rose tampak tipis. “Dari mana kau punya keyakinan kalau otak kakak iparmu ini cukup pandai untuk memikirkan soal serumit itu? Ini bukan tentang kalkulus. Aku tidak tertarik pada kalkulus karena dia tidak sekeren kakakmu.”

“Jadi ini tentang kakakku?” tanya Jeno tepat sasaran. Ia mendengus pelan saat Rose mengangguk penuh semangat.

“Apa dia benar-benar peduli padaku?” Rose bertanya dengan raut penasaran yang kelihatan manis.

“Apa aku harus menjawabnya? Kau pasti sudah tahu jawabannya,” tutur Jeno sembari mengulum senyum yang membuat Rose mengerjap tak paham. Pemuda itu menarik tangan yang semula ia tumpukan di dekat wastafel, ekor matanya melirik ke arah kamar mandi sebelum menambahkan, “Tentu kau sudah tahu. Kak Jaehyun tidak akan menghabiskan waktunya yang berharga untuk perempuan yang tidak dia suka dan pedulikan. Untuk orang yang selalu tidur dengannya, seharusnya kau sudah tahu itu, kan?”

Winter Spring ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang