One of the most heartbreaking chapter so far. I was crying when making it—well I am easily getting emotional now, I think it explains well. Hehehe
(Please leave some comments and vote just so I can know you guys satisfy with this chapter. Have fun reading)
❄
❄
❄“I would rather walk with a friend in the dark, than alone in the light.”
—Helen Keller—Satu tendangan kembali menghantam punggungnya. Jaehyun tidak lagi menghitung berapa banyak jumlah pukulan serta tendangan yang mengenai tubuhnya sejak ia diseret ke tepian pantai sunyi dan dingin ini. Sayup-sayup ia mendengar debur ombak bercampur dengan rentetan sumpah serapah dari mulut kotor milik para begundal di sekeliling yang memecah heningnya malam. Mulutnya kembali memuntahkan darah—meneteskan warna lain di atas pasir gelap yang basah oleh titik salju.
Kesadarannya hampir menghilang ketika suara tangis yang sangat ia kenal menerjang bagai ombak saat pasang. Jaehyun yang terbaring dengan tubuh meringkuk spontan mengangkat wajah, melihat Minjeong berjalan terseok-seok dengan kedua tangan terikat dan mata ditutup kain hitam. Gadis itu menangis sambil memegangi tangan pria tinggi besar yang menjambak rambut panjangnya. Tubuhnya jauh lebih kurus, penampilannya berantakan, wajahnya pucat dan sudut bibirnya dibubuhi sedikit luka.
Pemandangan yang ditangkap matanya membuat darah Jaehyun mendidih. Seolah mendapat suntikan energi, ia bangkit dan menerjang beberapa pria yang menghajarnya sejak tadi. Jaehyun tidak mengindahkan perih akibat luka tembak maupun pukulan yang terus-terusan ia terima. Pria itu berlari, berusaha meraih Minjeong sambil meneriakkan namanya beberapa kali.
“JUNG MINJEONG!” pekiknya sebelum menerima pukulan lain di tengkuk, lagi-lagi membuat Jaehyun jatuh di atas kedua lutut. Kendati demikian, ia terus merangkak, berusaha bergerak sedekat mungkin dengan adik bungsunya.
“KAKAK! KAU DI MANA? TOLONG AKU... KAK JAEHYUN TOLONG AKU!” Minjeong berteriak di tengah tangis yang dengan cepat diredam oleh tangan besar milik pria di depannya—membuat napasnya tersenggal.
“BAJINGAN KEPARAT! JAUHKAN TANGAN KOTORMU DARI ADIKKU! HEI... KEMARI SIALAN... LAWAN AKU... JANGAN JADI PECUNDANG YANG HANYA BERANI MENGGANGGU GADIS KECIL! KEMARI DAN LAWAN AKU! KUHK!”
“Kau berisik sekali,” kata pria berkulit paling gelap dan punya banyak bekas luka di wajahnya. Pria itu menendang punggung Jaehyun, menginjak kepalanya yang jatuh ke atas pasir, lalu kembali berkata dengan nada membentak. “Cecunguk sepertimu bahkan tidak bisa berjalan dengan punggung tegak! Mana bisa kau melawan Dongshik yang kuat! Dengar Tuan Pintar yang tinggi hati, seharusnya kau memohon supaya nyawamu diampuni, berhenti berlagak dan turunkan pandanganmu. Sikap sombongmu itu membuat kami sangat muak!”
Napasnya semakin pendek terutama setelah mulutnya memuntahkan lebih banyak darah. Jaehyun berusaha bangkit, tapi kaki yang menekan kepalanya terasa seperti bongkahan batu besar, ia tak bisa menggesernya. Rasa sakit terus menyerang, angin yang menyentuh kulitnya terasa seperti jilatan mata pisau, membuatnya merintih pelan. Jaehyun mengepalkan kedua tangan—berusaha melawan gravitasi sekaligus mengabaikan luka yang membuat kesadarannya serasa dicabuti sampai ke akar.
Pandangannya diarahkan ke depan—mulai kabur dan diselingi berbagai bayangan yang membuatnya mengerjapkan mata berulang kali. Jaehyun mengembuskan napas kasar, meloloskan pekikan yang terdengar nyaring dan menyedihkan. Mungkin ia memang terlahir dengan sepuluh ketidakberuntungan. Itu membuatnya sangat tersiksa. Apabila orang lain menerima salah satunya, orang itu mungkin akan bunuh diri karena ketidakberuntungannya tidak bisa ditanggung siapapun.
KAMU SEDANG MEMBACA
Winter Spring ✔
Fiksi Penggemar[COMPLETED] He was the coldest winter who met his warmest spring. She was the most bitter spring who met her sweetest winter. The world knows that spring will never come beautifully without winter. Because winter and spring bond to each other, are...