Chapter Thirty

1.6K 199 22
                                    

Another Jaerose's work that hits thirty chapters after Rosé, usually I always end it on 15+2 extras, a bit emotional if I have to say. Thank you for all supports you have given to Winter Spring this far, I love you 💖💖💖

I don't suppose to spoil but I have to say that everything will be necessary dramatic and spicy in the next chapters. All characters are important, not to be mentioned Jaehyun and Rose are main characters so of course their whole existence just like key that moves this story. Just enjoy it, I'll put my best into it ^^



“Youth is happy because it has the capacity to see beauty. Anyone who keeps the ability to see beauty never grows old.”
—Franz Kafka—

Sunday, November 25th
“Aku masih tidur saat Hyunjin menelpon dan bilang ingin bertemu,” Jaemin bicara sambil mengucek mata—masih mengantuk meskipun sudah tiga jam sejak pertama kali ia membuka mata pada Minggu pagi yang dingin ini. Tangannya merapatkan mantel, tubuhnya menggelung sebelum kembali bangun saat Minjeong mengetuk kepalanya dengan jari. “Kenapa kita harus piknik tepat tiga hari setelah Suneung sih? Seharusnya kita istirahat atau makan ramen—hotpot terlalu mewah. Ide siapa ini?”

“Ideku dan Kak Hyunjin,” Ryujin mengakui tanpa sedikitpun rasa ragu. Gadis itu menutup buku, melengguh frustasi sebelum melanjutkan, “otakku tidak bisa bekerja. Kupikir kalau ramai-ramai dan ada Minjeong benda kecil di dalam kepalaku ini bakal berfungsi, tapi tetap tidak bisa. Masa bodoh dengan ujian, aku tidak akan lanjut sekolah saja!”

Hyunjin yang duduk tepat di samping menyentil dahi Ryujin—kemudian mengusapnya singkat karena gadis itu meringis kesakitan. “Hidupmu akan lebih sulit kalau putus sekolah. Kalau mau hidup enak, ya harus mau bekerja, harus mau berusaha. Hidupmu akan tetap begini kalau malas-malasan terus.”

“Dia bicara seperti orang yang pernah hidup susah saja,” gumam Minjeong pada gadis berambut hitam panjang di samping kanannya. Ini acara yang tak terduga, bahkan Jeno dan Karina juga ikut serta, keduanya tidak banyak bicara. Bahkan Karina yang punya kemampuan sosial sangat baik pun memilih bungkam—mungkin Suneung membuatnya sangat pusing sampai mengubahnya jadi gadis pendiam seperti ini. Minjeong menarik napas dalam, memutuskan untuk berdiri dan berjalan ke tepian tebing, lalu berteriak kencang. Semua orang melihatnya dengan wajah terperangah, tawanya terdengar ringan dan tanpa beban. “Anak-anak yang baru selesai Suneung kelihatan sangat frustasi dan Ryujin yang biasanya cuek juga tiba-tiba mau belajar. Dan jujur saja, kenapa harus mengajak piknik saat cuaca sedang dingin seperti ini? Kenapa pula di dekat rumahku? Kau atau Kak Hyunjin harusnya mengajak kami ke pemandian air panas di Jepang. Atau itu terlalu berlebihan ya?”

“Sebenarnya memang sangat berlebihan,” Jaemin memberi respon.

Jeno turut menambahkan, “Kurasa pemandangan dari atas sini kelihatan cukup bagus. Dan kalau kau mau mandi air panas, nanti bisa kakak siapkan untukmu.”

“Aku punya sabun yang sangat wangi, mau mencobanya Minjeong?” tawar Karina setelah sekian menit tidak bersuara.

“Kau bisa mampir ke rumahku. Di saja ada jaguchi,” kata Ryujin pada akhirnya. Dia berdiri kemudian menarik Minjeong untuk duduk di dekatnya—perpindahan posisi atas dasar monopoli. Sebenarnya Ryujin kurang suka melihat Minjeong terlalu dekat dengan Karina, gadis itu seperti sedang berusaha merebut sahabatnya.

“Ah tentu saja! Sudah lama sejak terakhir kali main ke rumahmu!” Minjeong memekik senang. Dia cukup mudah dibuat senang. Matanya melirik Karina, lalu katanya, “Ryujin punya rumah yang sangat besar seperti dalam drama. Lalu ada jembatan yang menghubungkan rumahnya dengan rumah Kak Hyunjin. Itu sangat keren. Sayang sekali kau tidak bisa melihatnya.”

Winter Spring ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang