Chapter Thirty Four

1.4K 203 22
                                    

Aloha, I'm back faster than ever. Hoho

Chapter ini lumayan panjang, jadi cari posisi enak buat baca dan getting emotional. Enjoy~



“If the family you chose before your birth no longer supports your path towards fulfilling your true destiny, it is never too late to find a new tribe.”
—Anthon St. Maarten—

Monday, Desember 24th
Tidak sulit mengakses Busan dengan kereta. Oleh karena itu Jaemin memilih pergi menemui ibunya—sambil membawa Minjeong—setelah beberapa perhitungan yang cukup panjang. Ia tidak terlalu suka pergi sendiri; dan kebetulan Minjeong menawarkan diri karena gadis itu tak mau ia kesepian. Adik kecilnya punya cukup banyak pertimbangan dan pengertian untuk dibagikan. Bahkan ketika ia benar-benar tak ingin pergi untuk menemui Yoona, ia tetap menyeret kakinya dan berjalan mengiringi Jaemin dengan langkah gontai. Ada hal yang harus Minjeong pastikan: membawa Jaemin kembali. Ia tak akan melepaskan Jaemin untuk seorang penyihir meskipun pemuda ini menyebalkan dan banyak tingkah. Lagipula, rumahnya selalu terasa lebih seru saat Jaemin banyak bicara dan membuat kekacauan.

Beberapa jam sebelumnya, Jeno mengantar mereka sampai ke stasiun. Pemuda itu tetap teguh pada pendiriannya, ia sudah memutuskan segala macam ikatan dengan ibunya. Bahkan, alih-alih bertemu dengan Yoona, ia lebih memilih bertemu Karina dan menghabiskan malam Natal dengannya. Sementara Jaehyun, tentu saja ia juga lebih suka bertemu Rose ketimbang bertemu wanita yang lama meninggalkannya, itu masuk akal. Bahkan jika bukan karena Jaemin, Minjeong juga tak mau menemui wanita itu, semua yang ia lakukan saat ini benar-benar seratus persen didedikasikan untuk kakaknya.

“Ini kali pertama aku menginjakkan kaki di Busan,” desis Minjeong sambil merapatkan mantel dan syal. Tangannya kembali meraih lengan Jaemin—ia berjalan sangat rapat di samping kakaknya. “Wanita itu bilang akan menjemput kita kan? Mobilnya warna apa? Diparkir di mana? Siapa supirnya?”

“Seharusnya ada di Pintu Keluar Barat,” cetus Jaemin celingukan.

“Apa maksudmu Barat?” Minjeong menghentikan langkahnya, hanya menatap Jaemin dengan kerutan di atas matanya.

“Jemputannya ada di Pintu Keluar Barat,” ulang Jaemin sekali lagi.

Minjeong menepuk jidat, memejamkan mata selama beberapa detik, dan menggerutu tanpa henti. “Jaemin, kau benar-benar bodoh. Kalau sudah tahu kita bakal dijemput di Pintu Keluar Barat, kenapa mengajakku berjalan ke Utara? Kita harus memutar lagi! Stasiun ini cukup besar dan ada banyak orang saat ini! Ugh, ya ampun, seharusnya aku tidak membiarkanmu memimpin jalan! Bodoh, benar-benar sangat bodoh, kau bodoh sekali!”

Jaemin terkekeh dan membiarkan Minjeong menarik tangannya sambil menggerutu. Gadis itu baru berhenti saat seorang pria berjas maroon yang punya tubuh sedang dan wajah ramah memanggil nama mereka, mengenalkan dirinya sebagai sekretaris Yoona. Pria itu tidak mengatakan apapun sepanjang perjalanan ke Rumah Sakit yang lumayan jauh dari stasiun kota. Saat turun, Minjeong terus memegangi tangan Jaemin, kelihatan sangat kecil saat berjalan di belakang kakaknya yang punya tubuh tinggi meski sedikit kurus.

Begitu tiba di salah satu ruang rawat inap yang terletak di lantai lima, keduanya berhenti di ambang pintu, kelihatan ragu-ragu untuk menghampiri Yoona yang terbaring di atas bangsal dengan beberapa selang melilit tubuhnya. Minjeong merasakan genggaman Jaemin di tangannya semakin erat, pemuda itu menelan ludah, berusaha tetap kuat saat menerima sebuah senyum lemah dari ibu mereka. Wanita itu kelihatan sangat lemah, bahkan bernapas pun menjadi pekerjaan yang sulit dilakukan. Dia benar-benar bisa meninggal kapan saja. Itu membuat Minjeong tidak nyaman; dia tidak mau melihat siapapun mati di depan matanya. Rasanya pasti sangat buruk.

Winter Spring ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang