Chapter Twenty Four

1.7K 233 70
                                    

Aloha~

We may have four chapters for this week. They are all interesting (self promotion like I always do lol) so make sure you come every chapter or you'll miss the tea!!! But guys, first of all could you please give 45 comments to me? I'd really really appreciate it 😊😊😊

Selamat membaca ^^



“It is an absolute human certainty that no one can know his own beauty or perceive a sense of his own worth until it has been reflected back to him in the mirror of another loving, caring human being.”
—John Joseph Powell—

Jeno dan Jaemin tolong pakai mantel dan habiskan makan siang kalian! Pesan itu ditulis di atas sticker yang ditempel di atas kotak makan siang biru yang Minjeong masukan ke dalam tas mereka. Gadis itu bangun pagi sekali, mendahului siapapun dan bersikeras untuk membuat sarapan yang rasanya jauh lebih baik dari rata-rata nilai ujian Jaemin (dia hanya sanggup mendapatkan rata-rata 6,5 dari 10). Itu membuat kedua kakaknya—Jaehyun dan Jeno—lega karena adik kecil mereka bisa mulai mengurus dirinya sendiri dan jadi lebih mandiri. Minjeong sendiri pun senang karena dia terbebas dari ketakutan tumbuh menjadi seperti Jaemin yang tidak bisa menggoreng telur tanpa membuat wajan gosong.

“Kurasa Minjeong kerasukan,” cetus Jaemin, pemuda itu berjongkok di depan kelas Jeno sambil mengunyah permen karet—dia mendapat hadiah dari penggemarnya.

“Belakangan ini ‘kerasukan’ jadi kata favoritmu ya? Lima hari lalu kau juga menyebutku seperti itu, seenaknya saja, kau bahkan tak tahu artinya kan?” Jeno menyahut tanpa melirik kembarannya. Anak itu langsung masuk ke kelasnya setelah semua orang pulang, hanya becuap-cuap tanpa mau membantu tugas piketnya.

“Kau memang kerasukan.” Jaemin sama sekali tak peduli pada tatapan tajam yang dilempar Jeno. Dia berdiri, membantu kembarannya memasukkan sampah ke dalam kantong kresek, lalu kembali lagi ke dalam untuk membersihkan papan tulis. “Dasar lelet. Kalau tak bisa cepat, sebaiknya kau meminta teman-temanmu untuk membantu alih-alih membiarkan mereka pulang untuk alasan konyol seperti sakit perut atau harus membeli makanan anjing. Siapa yang peduli kalau mereka pingsan karena sakit perut? Kita bahkan selalu sakit perut karena minum air keran yang tercemar—kurasa kita tidak akan hidup lama. Dan lagi, pemilik macam apa yang baru membeli makanan untuk anjing mereka setelah benar-benar habis? Itu hanya alasan, Jeno, jangan terlalu baik. Tidak akan ada yang memberimu dua juta won karena berlaku baik.”

Jeno tidak menyahut—sibuk menggosok lantai karena ada permen karet yang menempel. Tangannya merah karena terlalu banyak bekerja dan terkena air. Jari-jarinya lecet—belakangan ini dia harus bekerja ekstra keras sebagai kasir dan tukang angkat barang. Dia tidak melakukan itu secara sukarela karena sifat baiknya yang tak bisa menolak permintaan orang lain. Ada utang yang harus dibayar. Jeno bahkan tidak menggunakan uang yang dituduhkan ia curi sepeserpun. Bahkan ia juga kehilangan uang untuk membayar biaya semesterannya, membuatnya terancam tidak bisa ikut ujian karena pihak sekolah tak bisa membuat pengecualian, bahkan untuk murid teladan yang banyak menyumbang piala penghargaan.

Memikirkan itu membuat Jeno frustasi. Dia memang miskin, tapi dia tidak akan pernah mencuri. Sehingga saat dituduh sebagai pencuri oleh bos dan dua orang rekan kerjanya, Jeno langsung merasa terpukul dan tergopoh-gopoh saat kembali berusaha berdiri. Dia tak bisa memberitahu Jaehyun tentang hal ini; tentang fitnah dan kehilangan uang dalam jumlah besar. Jeno menjual dua pasang sepatu yang diberikan Rose sebagai hadiah untuk membayar ‘utangnya’, tapi itu hanya bisa menutupi setengahnya, masih ada dua juta won lagi yang harus segera dilunasi.

Winter Spring ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang