Chapter Forty Four

2.1K 252 29
                                    

This one is sweet, but there are few parts that are categorize as NSFW—it does not explicit tho. Ehehehe... selamat membaca~



“If you want to be happy, do not dwell in the past, do not worry about the future, focus on living fully in the present.”
—Roy T. Bennett—

Jaehyun bercerita tentang bagaimana kehidupan yang ia lalui bersama ketiga adiknya setelah peristiwa hari itu. Dalam pelukannya, Rose mendengarkan sambil sesekali berhenti hanya untuk mengecup bibirnya. Pria itu merapatkan selimut yang menutupi tubuh mereka, mengusap punggung Rose sementara wanita itu kembali memasang fokus untuk mendengar kelanjutan ceritanya.

“Aku tidak tahu sebutan untuk profesi yang kujalani selain melabelinya sebagai pekerjaan paling buruk dan hina. Bayaran yang diberikan setimpal dengan pekerjaan yang dibebankan; aku harus mengabaikan nilai-nilai moral yang selama ini kupegang dan kuyakini. Tipuan, kebohongan, fitnah, ancaman; aku mengabaikan hati nuraniku demi mendapatkan informasi yang diminta klien. Kau tahu kan kalau beberapa perusahaan akan membayar harga tinggi demi mendapat informasi yang dapat menjatuhkan saingan bisnis mereka? Aku akan mendapatkan kelemahan itu, lalu memberikannya pada klien yang membayarku. Kelemahannya macam-macam: kekasih simpanan, penggelapan pajak, penyelundupan barang terlarang, bahkan pembunuhan. Aku bisa mengetahui semua itu karena bekerja dalam sebuah sistem. Dan karena aku sangat pandai, tentu saja. Harga jasaku sangat mahal karena aku selalu memberikan akurasi tinggi terhadap semua pekerjaan yang kulakukan. Singkatnya, aku tidak pernah mengecewakan.” Jaehyun membayangkan semua pekerjaan yang pernah ia lakukan; membuatnya sesak karena dipenuhi penyesalan yang selalu berusaha ia abaikan.

Pemaparan itu membuat mulut Rose terkatup rapat. Ia kehilangan kemampuan untuk memberikan respon; tidak tahu harus menanggapinya dengan cara seperti apa. Satu-satunya yang Rose pahami adalah luka dalam benak Jaehyun—pria itu menanggung perasaan bersalah yang amat besar sehingga membuatnya kewalahan. Untuk itu Rose hanya ingin memeluk Jaehyun, memberikan ketenangan yang selama ini absen dalam hidupnya.

“Lalu bagaimana tanggapan adikmu?” tanya Rose agak ragu.

“Dulu Minjeong selalu menangis karena ada beberapa orang yang datang ke rumah sambil mengatakan kalau ayah mereka berniat bunuh diri karena tindakanku. Itu masuk akal; aku meminta mereka memberikan informasi penting yang melibatkan perusahaan dengan jaminan identitas selingkuhan atau utang judi mereka tetap aman. Pilihan itu sangat sulit, beberapa dari mereka mungkin benar-benar mati. Tapi aku tidak dalam posisi untuk peduli. Aku dan keluargaku juga harus bertahan hidup,” kata Jaehyun memasang ekspresi nanar. “Pekerjaan itu membuatku muak; tapi di sisi lain aku bisa menemukan berbagai makna lewat setiap tempat yang kukunjungi bahkan setiap orang yang kutemui. Aku tidak merampas hidup orang tak berdosa, hampir semua orang yang kutemui punya kesalahan tak termaafkan. Mungkin itu terdengar seperti sebuah pembenaran hipokrisi yang berusaha kubuat, tapi alasan itu dapat mengurangi sedikit perasaan bersalah yang menekan benakku.”

“Kau mendapat pesanan untuk menyadap informasi pribadi Park Dojoon?” tanya Rose polos.

Tatapan Jaehyun turun untuk mengamati wanita yang memeluknya. “Sayangnya belum,” katanya, “tapi ada beberapa orang dari Hansung yang pernah kutemui. Penggelapan dana di perusahaan itu meningkat setelah presiden direktur terdahulu mundur. Tapi yang mengejutkan, laba operasional Hansung justru mengalami peningkatan. Apa yang dilakukan ayahmu? Dia pengusaha yang hebat.”

“Aku membencinya tapi kemampuannya memang harus diakui. Park Dojoon terlahir untuk memimpin Hansung, semua itu pasti bukan sekadar bualan.” Rose menarik napas dalam, kembali memainkan jemarinya di atas tubuh Jaehyun sebelum beringsut untuk menciumi wajahnya. “Kenapa ada dua kasur di sudut ruang keluarga?”

Winter Spring ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang