Chapter Four

2.9K 431 72
                                    

Haloooo... selamat malam minggu, selamat datang di lapak Jane 😚

My bestfriend told me just in any case I have a YouTube channel, if will be better if I name it: Jane No Shame because it represents me quite well :)

Chapter ini sweet, serius. So you better leave lot of comments on it. Okay, selamat membaca ^^



“Love is like the wind, you can’t see it but you can feel it.”
—Nicholas Sparks—

Pagi ini Jaehyun kelihatan lebih sibuk. Rasa gugup sedikit menyelimuti hatinya—kemudian terpancar melalui gerak motoriknya yang menunjukkan kalau ia tak segesit biasanya. Hal itu mengundang perhatian ketiga adiknya yang sedang duduk berjejer sambil mengamati sang kakak yang kelihatan tampan dengan rambut rapih dan kemeja putih. Mata Jaemin memicing. Dia tiba-tiba ingin menggoda Jaehyun yang sedang sibuk menyiapkan makan siang untuk mereka dan mungkin untuk seseorang yang akan ditemuinya.

“Kakak menyiapkan lebih banyak dari biasanya. Dan untuk apa kotak makan siang berwarna merah muda itu? Aku tidak ingat kalau Minjeong pernah memiliki kotak makan seperti itu,” ujar Jaemin sambil memasang tampang berpikir yang kelihatan agak berlebihan.

“Kotak makan siangnya kelihatan baru,” kali ini Minjeong menimpali. Ia bertukar tatap dengan Jaemin yang duduk di samping kirinya sebelum saling mengerling dan tersenyum jahil. “Itu juga kelihatan sangat cantik. Kakak harusnya bilang kalau baby pink adalah warna kesukaanmu. Dengan begitu aku bisa membelikan sesuatu dengan warna seperti itu saat ulang tahunmu nanti.”

Alih-alih Jaehyun yang menggubris, Jeno yang dibiarkan berpikir dan kebingungan sendiri mulai buka suara. “Apa maksud kalian? Bukannya belakangan ini Kak Jaehyun memang suka warna merah muda? Bahkan pulpen dan pensilnya saja berwarna merah muda.”

Tatapan Jaemin dan Minjeong secara bersamaan terarah pada Jeno—nyalinya mendadak ciut, dua adiknya kelihatan lebih intimidatif daripada biasanya. Jaehyun yang mengamati tingkah ketiga adiknya hanya mengulas senyum tipis. Persiapannya sudah selesai. Tidak, ada satu hal lain yang belum dapat dia selesaikan. Rasa gugupnya merayap semakin dalam. Ini buruk. Ia tak bisa menemui Rose dengan perasaan gugup seperti ini.

“Apa aku terlihat… em… keren?”

Pertanyaan itu membuat ketiga adiknya terperangah. Mereka sama-sama memasang ekspresi tak percaya yang terlukis jelas di seluruh wajah rupawannya. Sejauh yang mereka ingat, Jaehyun sama sekali tak pernah peduli dengan penampilan. Perkataan seperti, ‘Aku lebih peduli pada pendidikan dan pekerjaanku daripada penampilanku,’ atau, ‘Untuk apa aku peduli? Tidak ada yang memperhatikanku,’ adalah dua kalimat yang paling sering Jaehyun katakan tiap kali adik-adiknya memintanya membeli baju baru dan sedikit menaruh perhatian pada penampilannya sendiri. Ini hari bersejarah. Jung Minjeong yang biasa menuliskan segala sesuatu dalam buku hariannya buru-buru pergi ke kamar, membawa buku hariannya dan menuliskan tentang perubahan sikap kakaknya lengkap dengan ekspresi dan kalimat yang diucapkannya barusan.

“Kakak sedang sakit? Kenapa tiba-tiba jadi sangat peduli pada penampilan seperti ini? Kakak memutuskan untuk menggunakan wajah tampan itu untuk menghasilkan uang?” Jaemin menghujami sejumlah pertanyaan. Sisa-sisa keterkejutan masih menempel di muka bantalnya.

“Jangan tinggalkan kami kak. Kami hanya punya kakak…” Jeno jadi yang paling sentimental di antara saudaranya yang lain. Ia mulai memikirkan kemungkinan paling buruk yang tentu saja tidak akan terjadi. Air mata keluar mendahului rasionalitas—seolah mencemooh otak pintarnya yang kalah oleh perasaan emosionalnya.

Winter Spring ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang