Akhirnya chapter kali ini pendek. Hehehe
I feel like that the quotes below is absolutely can represent the way Jaemin and Eunwoo love their significant others. Tolstoy will always be one of the GOAT afterall. Well, we do not talk about him here, so here is the chapter. Selamat membaca ^^
❄
❄
❄“Only people who are capable of loving strongly can also suffer great sorrow, but this same necessity of loving serves to counteract their grief and heals them.”
—Leo Tolstoy—Sikap Jaemin selama satu minggu terakhir terasa lebih aneh—setidaknya itu yang Minjeong rasakan ketika dia bertemu dengan kakak yang ditemuinya hampir setiap hari. Ada kejanggalan dalam senda gurau yang terdengar tak alami. Jaemin juga kerap kali berhenti bicara di tengah kalimat, akan buru-buru meralatnya, dan senyumnya pun tampak dipaksakan. Minjeong memang selalu menunjukkan sikap tak peduli—seolah kekhawatiran Jaemin tidak pernah mengganggunya—namun pada kenyataannya dia sangat peka dan keresahan sang kakak akan membuatnya tak enak rasa.
Oleh karena itu ketika mereka berhenti di sebuah kafe kecil untuk membeli Ice Americano, gadis itu segera bertanya, tidak menunggu lebih lama karena ia sudah dapat menebak bahwa Jaemin tidak akan bicara jika tidak dipaksa. Ekspresinya tidak berubah; senyumnya tidak muncul dan ia selalu kelihatan serius seperti hari-hari biasa. Hingga siang ini Minjeong hanya tersenyum tiga kali: pertama saat Rose memintanya ikut ke tempat fitting gaun pengantin besok siang; kedua saat Jaehyun memberitahu kalau Selasa ini dia bisa ikut bertemu Jaksa Kim; dan terakhir saat Eunwoo mengajaknya makan malam. Sumber kebahagiaan Minjeong hanya berpusat pada keluarga—begitu pula dengan sumber keresahannya.
Mata cokelatnya memindai sosok Jaemin yang punya gelagat aneh—pemuda itu tidak seceria biasanya. Itu membuat Minjeong semakin resah. “Kau baik-baik saja?”
“Apa maksudmu? Tentu saja aku baik-baik saja. Aku makan makanan enak setiap hari, tidur di kasur yang nyaman, dan bertemu anak baik seperti Junghyuk yang sangat perhatian dan enak diajak bermain.” Jaemin memberikan jawaban sambil memasang ekspresi riang yang dibuat-buat. Ada satu hal yang sangat kentara ketika Jaemin berbohong: dia tidak akan menatap lawan bicaranya.
“Jaemin, apa yang membuatmu resah?” tanya Minjeong, nada suaranya tidak berubah.
“Apa kau mengkhawatirkanku? Yang Mulia Jung Minjeong mengkhawatirkanku!” ujar Jaemin sambil menutup mulut. Ia memasang ekspresi terkejut—tak percaya jika Minjeong bisa memperhatikannya seperti ini.
“Aku bertemu Ryujin kemarin sore,” kata Minjeong, “dia sedang bersama temannya.”
Dari balik gelas kopi yang tinggi, Minjeong memindai pergerakkan Jaemin melalui sudut matanya. Ia pandai menyetir obrolan—lebih tepatnya interogasi—sehingga membuat Jaemin mengaku seharusnya bukan hal yang sulit. Minjeong bisa membuat teroris dan pembunuh berantai mengakui kejahatan mereka; sehingga jika gagal membuat Jaemin mencurahkan isi hatinya, ia sendiri akan mempertanyakan kredibilitasnya sebagai seorang detektif berbakat.
“Mungkin karena kalian tidak bertemu untuk waktu yang lama, tapi Ryujin terus menanyakan kabarmu. Jadi kubilang saja kalau akhir pekan ini aku akan mengajakmu keluar,” tuturnya mulus. Minjeong menyukai reaksi yang Jaemin berikan; terutama saat ia mengatakan kalau teman Ryujin terlihat sangat seksi dan tinggi.
“Tinggi dan seksi apanya, Lee Haechan itu cuma pria pendek dan tidak atletis sama sekali,” pada akhirnya Jaemin menimpali. Tangannya sontak menutup mulut—kemudian matanya membulat dan langsung menyipit saat melihat adiknya tersenyum mencibir.
KAMU SEDANG MEMBACA
Winter Spring ✔
Fanfiction[COMPLETED] He was the coldest winter who met his warmest spring. She was the most bitter spring who met her sweetest winter. The world knows that spring will never come beautifully without winter. Because winter and spring bond to each other, are...