Hello my love!!!
Ada beberapa bagian mature yang nggak kids friendly. Just skip if it bothers you. Enjoy~
❄
❄
❄“Like a child who saves their favourite food on the plate for last, I try to save all thoughts of you for the end of the day so I can dream with the taste of you on my tongue.”
—Kamand Kojouri—Pernah ada hari ketika Jaehyun tidak menghubungi Rose sama sekali. Minggu lalu ia sangat sibuk: koas, kerja paruh waktu, dan mengurus adiknya; Jaehyun tidak bisa meninggalkan salah satunya. Menurutnya Rose bisa menunggu, lagipula tidak ada kegiatan pasti yang sedang dikerjakan kekasihnya sehingga satu-satunya hal yang mungkin terpikir hanya menghubunginya.
Rose sedikit kesepian, itu terasa jelas melalui tiap kata yang terucap saat mereka bertemu atau mengobrol lewat telpon; atau melalui tiap sentuhan yang ia dapatkan tiap kali mereka bercengkerama. Jaehyun merasa bersalah karena tidak memprioritaskannya, tapi Rose tidak sedang benar-benar membutuhkan perhatiannya. Dibandingkan kekasihnya, untuk saat ini ketiga adiknya jelas lebih membutuhkan perhatian. Tapi terus memintanya menunggu untuk alasan yang tak ia beritahukan mungkin dapat membuatnya sedih dan kecewa. Jaehyun tidak mau mengusutkan rajutan asmara yang sudah ia buat, ia ingin menjaganya tetap stabil dan sempurna.
Oleh karena itu, meskipun lelah serta tercium seperti sabun murah dan air keran Rumah Sakit, Jaehyun tetap mengiyakan permintaan Rose untuk bertemu. Suasana hatinya cukup baik, tidak banyak hal aneh terjadi belakangan ini, sehingga menemui Rose pada waktu-waktu ini bisa dihitung sebagai tindakan tepat. Jaehyun menyelipkan ponsel ke dalam tas, merapatkan mantel, dan berjalan menyusuri koridor dengan langkah panjang yang sedikit tergesa.
“Jaehyun?”
Suara itu menghentikan langkahnya. Jaehyun menarik napas dalam, merutuki alam yang terus-terusan membawa wanita ini padanya. Ia berbalik, melempar tatapan muak ke arah Yoona yang didorong menghampirinya di atas kursi roda. Wanita itu tampak lebih kurus dan ringkih; kelihatan seperti pasien sekarat yang dapat mati kapan saja.
Jaehyun tidak membalas sapaannya. Kakinya berputar, berniat pergi sebelum suara itu kembali menghentikannya. Tubuhnya mematung, mulut terkatup rapat, telinganya mendengar tiap baris kalimat yang keluar seperti pengakuan dosa.
“Aku sekarat Jaehyun. Tindakanku memang tidak bisa dimaafkan, tapi kumohon, hanya sekali, ijinkan aku bertemu dengan adikmu.” Yoona bicara dengan susah payah, seolah ada bongkahan besar yang menghambat kerongkongannya. Ia meminta pria di belakang untuk mendorongnya lebih dekat pada Jaehyun. Putra tertuanya tidak bergeming, bahkan tetap diam bagai patung ketika tangan Yoona menyentuhnya. “Tiga bulan, dokter bilang hidupku hanya bisa bertahan maksimal tiga bulan, apa kau percaya itu? Aku berobat di Rumah Sakit terbaik, pada dokter paling baik, tapi penyakit ini tetap tak bisa disembuhkan.”
Tidak ada respon. Jaehyun masih bungkam, menahan luapan emosi dengan tangan terkepal.
“Jaehyun, aku tahu kau bermaksud baik dengan melindungi perasaan adik-adikmu, tapi apa itu tindakan yang tepat? Kita bertemu beberapa hari lalu, aku terus memohon padamu, tapi jawabanmu selalu sama: Tidak. Tekadmu benar-benar tak bisa digoyahkan,” kata Yoona sesekali menyelipkan kekeh kecil ke dalam kalimatnya. Wajahnya terangkat, mengamati air muka Jaehyun yang tak pernah bisa ia selami. Semakin lama, pemuda ini kelihatan semakin misterius, semakin tak bisa dibaca. “Hanya sekali Jaehyun, bisakah kau menjadi anak yang baik untuk kali terakhir? Kau bukan anak pendendam, aku tak mengajarkan itu padamu.”
![](https://img.wattpad.com/cover/258957519-288-k245597.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Winter Spring ✔
Fanfiction[COMPLETED] He was the coldest winter who met his warmest spring. She was the most bitter spring who met her sweetest winter. The world knows that spring will never come beautifully without winter. Because winter and spring bond to each other, are...