Aloha~
Chapter ini sweet. Udah gitu aja. Kalo kata Sooman ke Mark: No more spoiler please. Oke selamat membaca. Voment ya, nuhun a.k.a thank you~
❄
❄
❄“My heart no longer felt as if it belonged to me. It now felt as it had been stolen, torn from my chest by someone who wanted no part of it.”
—Meredith Taylor—Sekitar pukul delapan pagi, Jaehyun sudah sibuk membuat tambahan materi untuk Ryujin dan Hyunjin—mereka akan belajar secara bergantian. Adik-adiknya masih tidur, sengaja tidak dia bangunkan karena ini hari Sabtu. Rose masih menginap di rumahnya—selalu bangun pagi karena ingin menghabiskan lebih banyak waktu dengan dirinya. Bahkan saat ini dia sudah bangun, langsung mencuci muka ke kamar mandi dan sedikit menggerutu karena airnya terlalu dingin.
Meskipun kelihatan fokus, sebenarnya ada hal yang menganggu Jaehyun saat ini. Fakta bahwa Jaemin terus terjaga sepanjang malam membuatnya agak khawatir. Adiknya bukan tipe yang suka begadang dan terjaga semalaman. Bahkan di antara adiknya yang lain, Jaemin itu jadi yang paling suka tidur—mungkin tidur merupakan hal kedua yang sangat ia sukai setelah sepak bola. Sehingga ketika pemuda itu terjaga dan terus berguling dengan selimut menutupi seluruh tubuhnya, Jaehyun menjadi khawatir.
“Ada yang menganggu pikiranmu, Jaemin?” tanya Jaehyun pada akhirnya. Dia berbalik, menarik selimut yang menggulung tubuh adiknya.
Dengan satu gerakan kecil, Jaemin bangkit dan duduk bersila. Rambutnya berantakan, wajahnya kelihatan gamang alih-alih lelah karena kurang tidur, dan dia berulang kali menghembuskan napas kasar yang mencurigakan. Jaemin merasakan gatal dan sedikit ingus di ujung hidungnya. Itu sangat menganggu.
“Tidak ada masalah apapun,” desisnya pelan, bahkan ia mengatakan itu sambil membuang muka.
Jaehyun menutup catatannya. Ia berbalik untuk menatap adiknya, menunggu sesaat sampai suara keran di kamar mandi dimatikan. “Tidak biasanya kau segalau ini padahal kemarin baru saja memenangkan pertandingan besar. Kau bisa membohongi orang lain, tapi aku kakakmu, aku sudah mengenalmu selama tujuh belas tahun. Bahkan aku juga yang membesarkanmu.”
Sambil menendang pelan selimut yang jatuh ke depan kakinya, Jaemin berkata, “Ya kau benar. Memang ada sedikit masalah. Bukan masalah sih, tapi mungkin bagiku memang masalah. Bagaimana menjelaskannya ya?”
Ekspresi Jaehyun datar. Ia sedang memberi kesempatan pada Jaemin untuk menata pikirannya. Tapi setelah lima menit, bahkan setelah Rose keluar dari kamar mandi, anak itu masih belum mengatakan apapun. Masih hanyut dalam kebingungan yang tak dapat ia pecahkan.
“Kalian sedang lomba saling tatap?” cetus Rose sambil mendudukan di diri di samping kekasihnya.
“Memang ada kompetisi semacam itu?” Jaemin memutar matanya kesal.
“Zaman sekarang semua ada kompetisinya,” sahut Rose sambil melipat kedua tangan di depan.
“Ya terserahmu saja, tapi kami tidak sedang melakukan kompetisi konyol macam itu,” Jaemin berdecak, sudah sangat terbiasa menghadapi lelucon kekasih kakaknya.
Rose tertawa pelan. Rambutnya yang dikepang dan diletakkan menyamping meneteskan beberapa titik air yang jatuh menimpa celana tidur putih bermotifnya. Warna pirang rambutnya tetap kelihatan bagus karena dia selalu pergi ke salon hampir tiap minggu—bleaching. Itu membuat Jaehyun sangat khawatir pada akar rambutnya meskipun berulang kali Rose bakal mengatakan kalau akarnya baik-baik saja karena dia melakukan perawatan dengan baik.
KAMU SEDANG MEMBACA
Winter Spring ✔
أدب الهواة[COMPLETED] He was the coldest winter who met his warmest spring. She was the most bitter spring who met her sweetest winter. The world knows that spring will never come beautifully without winter. Because winter and spring bond to each other, are...