I find Winter Spring so lovely in spite of its simple plot like I feel comfortable enough when creating all the line and words for it. Enjoy ^^
❄
❄
❄“I am nothing special, of this I am sure. I am a common man with common thoughts and I’ve led a common life. There are no monuments dedicated to me and my name will soon be forgotten, but I’ve loved another with all my heart and soul, and to me, this has always been enough.”
—Nicholas Sparks—Kamar mandinya berkabut. Aroma mint menyeruak lembut, berpadu dengan beberapa wangi bunga yang Rose pilih tiap kali mereka membersihkan diri seperti ini. Bahkan dia menyalakan lilin aroma terapi, meletakan tiga buah di atas kabinet dekat wastafel. Katanya itu bisa membuat Jaehyun rileks—pria itu tidak yakin mana yang membuatnya lebih rileks: lilin aroma terapi atau seks yang mereka lakukan tiap minggu. Bahkan saat ini mereka sedang duduk berhadapan di dalam bathtub, membicarakan beberapa hal penting sampai tidak penting, mereka hanya terus bertukar kata.
Rose menempatkan kakinya di atas paha Jaehyun, sesekali menyentuh perutnya, lalu bergeser untuk duduk di antara kedua kakinya yang ditekuk. Rambutnya diikat ke atas, menampilkan leher jenjangnya yang merah dan sedikit diwarnai biru lebam. Ia lebih suka saat Jaehyun menjadi sangat aktif dan banyak mengambil inisiatif—tubuhnya agak pegal, tapi mandi air hangat dan sedikit pijatan akan membuatnya baikan. Tatapannya kembali menyapu wajah Jaehyun—menangkap raut cemas yang terus bertengger di sana selama beberapa hari terakhir.
“Jeno masih belum cerita?” tanyanya sambil membelai pipi Jaehyun, mengecup bibirnya sebelum kembali duduk dan memperhatikan.
“Belum. Ini sudah satu minggu, tapi dia belum cerita. Bahkan Jaemin juga tak mengatakan apapun. Dia pasti berusaha sangat keras untuk membantu kakaknya, bahkan anak itu menjual dua pasang sepatunya,” tutur Jaehyun. Dia mengangkat tubuh Rose, mendudukan perempuan itu di atas pangkuannya, lalu menambahkan, “Lebih nyaman seperti ini kan? Sini tanganmu, simpan di pundakku. Jangan terus menyentuhnya.”
“You’re getting hard easily, Jaehyun. I’m just helping.” Rose hanya ingin menggoda.
“Tandanya itu berfungsi dengan baik. Memang kau pikir itu apa? Sejenis ornamen? Kalau kau terus menyentuhnya, tentu saja itu akan bereaksi.” Jaehyun menerangkan sedikit bersungut-sungut, merasa perlu membela kawan kecilnya.
“Sebenarnya sayang, kau tidak perlu menjelaskannya sampai serinci itu,” Rose tertawa geli. Dia sedikit menselonjorlan kaki—sampai terbentur ujung bathtub di belakang. Tangannya memainkan rambut Jaehyun, menyisirnya ke samping dengan jari-jemarinya. “Rambutmu sangat halus. Kau pakai sampo apa?”
“Aku memakai apa saja yang ada di kamar mandi. Kadang aku memakai satu sabun untuk badan, muka, dan rambut juga. Akhir-akhir ini aku terlalu lelah, bahkan tidur pun melelahkan.”
“Kalau begini terus, aku tak akan kaget kalau minggu depan kau masuk Rumah Sakit. Bukan sebagai koas, tapi pasien.” Rose sedikit menggerutu—meskipun dia sendiri pun tahu jika Jaehyun tidak melakukannya karena ingin.
“Aku terus memimpikan hal yang sama,” cetus Jaehyun, ekspresinya murung. Tatapannya yang semula turun kini terangkat, mengamati wajah Rose karena pemandangan di bawah sana agak membuatnya canggung. “Wanita itu terus mendatangi mimpiku. Tapi dia tetap wanita tua yang sama, bahkan dalam mimpi pun dia meninggalkanku. Aku tidak mau menemuinya lagi, tidak di dunia mimpi apalagi di dunia nyata, itu terlalu melelahkan. Seluruh saraf tubuhku seolah dicabuti, aku terus berlari meskipun kakiku sakit, dan terus menangis meskipun tidak mengeluarkan air mata. Tidak ada siapapun di sana, hanya aku dan wanita itu. Isi mimpiku sama, tapi usiaku sepertinya sangat variatif karena tadi malam aku terlihat sudah cukup dewasa—mungkin kelas dua SMA. Tapi anehnya, bahkan di dunia mimpi sekalipun aku tetap mengingatmu. Sayangnya aku tak bisa memanggil namamu. Lidahku kelu. Rasanya seperti sedang berada di film bisu. Apa yang lebih buruk dari tidak bisa meraihmu saat kau berdiri tepat di depanku? Itu mimpi yang menakutkan. Tolong jangan meninggalkanku, Rose.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Winter Spring ✔
Hayran Kurgu[COMPLETED] He was the coldest winter who met his warmest spring. She was the most bitter spring who met her sweetest winter. The world knows that spring will never come beautifully without winter. Because winter and spring bond to each other, are...