Chapter kali ini panjang. Brace yourself :)
(Pretty much love the quotes and I cried while read Dazai's works)
❄
❄
❄“I don’t either. I wonder if anyone does. We all remain children, no matter how much time goes by. We don’t understand anything.”
—Osamu Dazai—Jaehyun menelan ludah dengan susah payah. Ia melirik wajah-wajah yang kelihatan tak asing karena selalu berada di sekitar adiknya. Perlahan kakinya melangkah, menarik tubuh Jaemin yang lesu, lalu menyandarkan kepalanya ke pundak.
“Kalau kalian tidak keberatan, untuk saat ini apa bermainnya bisa sampai di sini saja?” kata Jaehyun tanpa memberitahukan alasan apapun pada ketiga teman adiknya. Dia memaksakan sebuah senyum saat Karina jadi yang pertama mengangguk lalu menarik tangan Ryujin meskipun mereka tak saling mengenal dengan baik.
“Kami pamit, Mentor Jung. Semoga harimu menyenangkan!” Hyunjin membungkuk dengan kaku, lalu sedikit berlari untuk menyusul Karina dan Ryujin yang sudah berpamitan lebih dulu.
Tatapannya lurus ke depan, dia juga tidak berusaha mencari tahu, hanya terus melangkah sampai parkiran lalu mengajak Karina untuk pulang bersama dengan dirinya dan Ryujin. Gadis yang disebut-sebut sebagai kekasih Jeno itu memberikan penolakan sangat halus—membuat Hyunjin terpukau dengan sopan-santun masyarakat kelas menengah sepertinya.
“Kau pasti berpikir dia manis kan?” Ryujin langsung menginterogasi.
“Tidak,” bantah Hyunjin tanpa sedikitpun rasa ragu. Ia membuka pintu belakang, membiarkan Ryujin masuk lebih dulu lalu mengikuti setelahnya. Setelah meminta supir untuk menginjak pedal gas, Hyunjin baru menambahkan, “Menurutku dia sangat cantik. Luar biasa cantik. Tapi aku tak terlalu suka gadis cantik, rasanya sulit dimiliki.”
“Jadi kau tidak menyukaiku?” Ryujin menunjuk diri sendiri.
“Memang kau cantik?” respon Hyunjin diselipi tawa ringan. Ia menerima beberapa gelitikan dari Ryujin, membuatnya tertawa terbahak-bahak sampai mengeluarkan air mata, kemudian tawanya reda dan suasana menjadi hening seperti semula. Hyunjin membuang tatapannya ke luar jendela, mengamati arus lalu lintas sebelum berkata, “Menurutmu mereka akan baik-baik saja?”
“Entahlah. Aku tak paham situasinya,” jawab Ryujin sambil menyandarkan punggung ke belakang.
Hyunjin menoleh, lalu katanya, “Minjeong tidak cerita apa-apa tentang ibunya padamu? Lalu Kak Rose? Apa Mentor Jung menceritakan ibunya pada kakak sepupumu?”
“Apa Jaemin cerita tentang ibunya padamu?” Ryujin melempar pertanyaan yang dibalas sebuah gelengan pelan. Katanya kedegaran tak terlalu peduli, “Mereka tidak akan menceritakan masalahnya—tidak pada siapapun. Anak-anak Jung itu benar-benar kuat, mereka masih bisa tertawa meskipun tertusuk pedang. Maksudku, bagaimana bisa Kak Jeno dan Mentor Jung tetap tersenyum meskipun baru bertemu lagi dengan ibu yang meninggalkan mereka bertahun-tahun lalu? Bahkan emosi Minjeong terkontrol dengan baik. Kalau aku mungkin bakal mengumpat sampai bibirku bengkak.”
“Kau sedih?” tanya Hyunjin tiba-tiba. Dia menerima tatapan tak paham dari Ryujin, kemudian menggeleng sambil menambahkan, “Lupakan. Kita tak akan pernah bisa memahami mereka. Situasi kita sepenuhnya berbeda.”
“Ya, kau kedengaran lebih masuk akal sekarang,” sahut Ryujin setuju.
Hyunjin dan Ryujin memilih bungkam, tidak lagi membahas Keluarga Jung karena itu membuat mereka terus mempertanyakan sesuatu yang tak dipahami emosinya. Hanya ada suara mesin yang terdengar halus mengisi keheningan yang terus berlanjut hingga keduanya sampai di kediaman masing-masing. Tidak ada kabar apapun dari Jaemin maupun Minjeong, pesan keduanya dibiarkan tak terjawab. Mereka berhenti mencoba, memutuskan memberi waktu pada kawan-kawan yang hidupnya kelihatan sangat kompleks dan dipenuhi lika-liku.
![](https://img.wattpad.com/cover/258957519-288-k245597.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Winter Spring ✔
Fanfiction[COMPLETED] He was the coldest winter who met his warmest spring. She was the most bitter spring who met her sweetest winter. The world knows that spring will never come beautifully without winter. Because winter and spring bond to each other, are...