Gimana chapter sebelumnya gengs? Hohoho
Chapter kali ini lumayan panjang, jadi kayak biasa, bawa amunisi karena nangis butuh banyak tenaga. Selamat membaca :)
❄
❄
❄“So it’s true, when all is said and done, grief is the price we pay for love.”
—E.A. Bucchianeri—Pertemuan dengan Jaehyun pagi tadi membuat tangisnya kembali pecah. Rose meminta Sekretaris Kwon untuk tak menanyakan apapun—lagipula ia tak harus melaporkan seluruh isi hatinya pada tangan kanan sang ayah. Batinnya terpukul, Rose ingin tinggal lebih lama dan memeluk Jaehyun, ingin meluapkan seluruh rasa rindunya pada pria yang ia tinggalkan dengan kesadaran penuh. Hidup tanpa Jaehyun benar-benar tak mudah; Rose tidak akan pernah terbiasa. Semakin keras ia menutup luka di hatinya, semakin cepat pula luka itu kembali terbuka. Ini buruk, ia kesulitan mengendalikan perasaannya.
Ketika pesawat mendarat dan mobil membawanya hingga ke kediaman Park Dojoon yang selalu membuat napasnya tercekat, Rose berusaha keras untuk menghapus jejak kesedihan di wajahnya yang pucat. Ia akan menjadikan letih sebagai alasan; itu cukup masuk akal. Belakangan ini kesehatannya memang kurang baik dan ia cukup mudah jatuh sakit. Rose tidak terlalu peduli, hidup memberinya terlalu banyak rasa pahit. Bahkan ia tak diberi kesempatan untuk mendapatkan kembali penawar sakit tanpa harus merasa was-was tiap kali sesuatu yang berhubungan dengan Jaehyun muncul ke permukaan. Tidak ada pembicaraan tentang Universitas S, tentang dunia medis, tentang lukisan, tentang buku yang pria itu sukai, bahkan tentang tempat yang sangat ingin mereka kunjungi. Semuanya dikubur rapat-rapat, seolah berusaha dihilangkan begitu saja.
Napasnya berhembus kasar. Tatapannya diarahkan keluar jendela begitu mobil tiba di parkiran depan rumahnya. Rose tersenyum pahit saat melihat rumah tempatnya dilahirkan terasa lebih asing dan kelam, itu bukan rumah yang ia inginkan. Dua menit selanjutnya dihabiskan untuk menjernihkan pikiran dan mengatur napas, bahkan Rose mengoleskan kembali lipstick di atas bibirnya yang pucat.
“Kita tidak bisa berperang tanpa senjata, kan?” katanya pada supir dan sekretarisnya. “Aku akan masuk sendiri, kau bisa pulang. Segera kirimkam jadwal terbaruku, aku akan langsung kerja besok.”
“Baik Nona,” ucap Sekretaris Kwon.
“Hah... aku ingin pulang ke rumahku.”
Baru lima langkah ia memasuki rumah, pekik antusias seorang bocah lelaki terdengar membentur pintu, membuat ekspresinya semakin masam. Rose menghentikan langkahnya, terlihat kesal saat bocah itu berlari menghampiri dan memeluk kakinya yang jenjang. Tangannya refleks mendorong anak itu—menyentil keningnya yang tertutup poni hingga menimbulkan bunyi TAAK yang cukup keras. Membuat Park Junghyuk menangis tiap kali ia menghampiri seolah menjadi spesifikasi baru yang Rose miliki.
Tatapannya tertuju ke bawah, melihat Junghyuk menangis sambil mengusap dahi. Rose tidak pernah menyukai anak kecil; dulu maupun sekarang, rasa sukanya tidak akan berubah. Ditambah bocah lelaki yang menangis tersedu-sedu di hadapannya itu merupakan adik yang tak ia inginkan—salah satu hal paling buruk yang terjadi dalam hidupnya adalah memiliki adik saat berusia 23 tahun. Sikap polosnya hanya akan bertahan sesaat sehingga ia tidak boleh lengah.
“Kakak... kenapa kakak membenciku?” ucap Junghyuk di tengah isak tangisnya.
Rose merunduk, melihat wajah Junghyuk yang merah dan banjir air mata. “Bulu kudukku berdiri tiap kali memasuki rumah ini karena ada dua monster dengan wajah serupa dan satu monster paling menyeramkan yang bersiap menerkamku. Kau sangat mirip ibumu, kalian membuatku takut.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Winter Spring ✔
Fanfiction[COMPLETED] He was the coldest winter who met his warmest spring. She was the most bitter spring who met her sweetest winter. The world knows that spring will never come beautifully without winter. Because winter and spring bond to each other, are...