Chapter Thirty Nine

1.6K 267 95
                                    

Aloha, it's been a while ^^
I feel so happy to greet you all here again like I used to, it felt so empty without you guys in my life. I always miss you, including your comment so please leave some comments for this chapter. Hohoho

I don't wanna keep holding you guys so here is the new chapter. Hope you guys love  it~



“I have tried to let you go and I cannot. I cannot stop thinking of you. I cannot stop dreaming about you.”
—Erin Morgenstern—

Six Years Later
Hongkong: Monday, February 4th
Tirai dibuka, membiarkan sorot matahari memasuki salah satu kamar royal suite di lantai paling atas secara perlahan. Rose membuka mata dan memandangi langit-langit dengan tatapan kosong. Tangannya terangkat untuk menyingkap selimut, lalu direntangkan ke atas bersamaan dengan tubuh yang ikut berdiri dan melakukan peregangan. Ia tak ingat pada pukul berapa matanya terpejam dan mulai larut dalam tidur yang kembali diisi mimpi serupa. Melihat dirinya dan Jaehyun kembali bersama meski sebatas mimpi merupakan sebuah ironi yang membuat hatinya terluka.

Rose menarik napas dalam, mengikat rambut hitamnya yang pendek melebihi bahu, sebelum berbalik dan melirik perempuan bermata kucing yang berdiri di dekat jendela. Perempuan berwajah jutek itu punya tubuh mungil—Rose menyebutnya seperti itu karena ‘pendek’ dirasa agak kasar—serta sifat yang kurang menyenangkan. Ia melaporkan seluruh kegiatan Rose pada ayahnya, membuatnya tidak bebas meskipun satu-satunya kegiatan yang secara konsisten ia lakukan hanya bekerja. Seluruh waktu dan hidupnya didedikasikan untuk Hansung kendati ia tak menyukainya; membentuk paradoks yang secara konstan menggerogoti hidupnya. 

“Hari ini tidak ada rapat kan? Aku sangat lelah, seharusnya Tuan Park tidak memberiku terlalu banyak pekerjaan. Bahkan hasil kerjaku tidak begitu bagus. Dewan direksi juga terus-menerus menyerang dan mencari-cari alasan untuk menyingkirkanku dari Hansung. Seharusnya aku mundur sejak awal. Belajar di Harvard selama dua tahun pun tetap tak ada gunanya untuk orang tidak berbakat sepertiku.” Rose mengoceh seolah itu merupakan kewajiban yang tak boleh dilewatkan. Ia mengeluhkan banyak hal: pekerjaan, perintah ayahnya untuk pulang ke Korea siang ini, dan menu sarapan yang dipenuhi karbohidrat.

“Presdir Park memintamu datang ke acara kencan buta dengan putra bungsu Min Group,” kata sekretarisnya yang selalu memasang muka serius.

“Skip,” ucap Rose seraya mendudukan diri di atas kursi. Tangannya menarik selembar kertas dari dalam kotak, memainkan pena saat memikirkan kata pertama yang harus ia tulis di suratnya.

“Apa anda punya alasan khusus di balik penolakan kali ini?” tanya wanita bermata runcing itu pada Rose.

“Tidak ada. Aku hanya tidak mau ikut kencan buta,” katanya tanpa melirik sekretarisnya. Ekor mata Rose terangkat, ditujukan pada perempuan yang telah menjadi sekretarisnya selama empat tahun terakhir itu dengan was-was. “Sekretaris Kwon, apa kau juga melaporkan pukul berapa aku makan atau buang air besar pada Presdir Park? Kau dibayar berapa? Ayahku itu pria licik, jangan terlibat dengannya. Kalau performa kerjamu menurun, dia akan langsung membuangmu. Aku tidak akan melakukannya, jadi bekerjalah padaku, Kwon Jennie.”

Sekretaris Kwon tidak menunjukkan raut responsif sebagaimana yang Rose harapkan. Wanita itu hanya satu tahun di atasnya, tapi cara bicaranya sangat mirip dengan wanita tua yang membosankan dan aduan. Meskipun Sekretaris Kwon sangat bisa diandalkan, tapi sikap patuh yang hanya ditunjukkan pada Tuan Park membuat Rose tidak nyaman ketika berada di sekitarnya.

Winter Spring ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang