Chapter Forty Six

1.9K 244 12
                                    

Miss me? Ehehehe

Aku kangen banget sama kalian, tapi belakangan ini ngerasa stuck banget dan nggak bisa nulis apa-apa. But I'm getting better now, hohoho

Chapter ini terbilang pendek, tapi so sweet. If you guys miss Jaerose so much and wish to read some sweet moments, reading this chapter is nice decision. Selamat membaca 😊😊😊



“Everything you can imagine is real.”
—Pablo Picasso—

Datang ke museum seni bersama Rose adalah mimpi yang Jaehyun kira tak akan terwujud sebelumnya. Tempat yang menampung ratusan koleksi dari berbagai seniman kenamaan seperti Donald Judd atau Nam Gyewu (terkenal sebagai Nam Nabi karena lukisannya identik dengan kupu-kupu) tersebut menjadi destinasi kencan pertama yang ia pilih kendati dirinya tahu jika Rose tak punya pemahaman apapun terkait dunia seni. Meski begitu, Rose tetap terlihat jauh lebih antusias dibandingkan dirinya yang sesekali berhenti untuk melihat lukisan atau kekasihnya yang tak kalah indah.

Mereka berjalan berdampingan, saling menggenggam tangan masing-masing saat menyusuri museum rancangan Mario Botta tersebut. Langkah Rose yang ringan dan cepat kerap kali membuatnya berdiri sedikit di depan—seolah memberi ruang pada Jaehyun untuk memandangi sosoknya yang cantik dari belakang. Rambut pendeknya diikat, ujung blouse putihnya sedikit dilipat, dan celana kulot berwarna olive green menjuntai melewati mata kaki

Fokus Jaehyun lagi-lagi terbagi: antara karya seni yang dia kagumi dan wanita yang dia cintai. Darahnya berdesir tiap kali melihat senyum di wajah Rose—sangat lembut dan menawan. Dengan hati-hati ia menarik tangan Rose sembari mengatakan, “Rose?”

“Hm?” Rose berbalik, sontak tersenyum saat merasakan sapuan lembut di bibirnya.

“Kau sangat cantik.” Ekspresi Jaehyun saat mengatakan itu terlihat sangat tulus. Sekali lagi ia mendaratkan kecupan di bibir Rose yang sedikit kemerahan; bahkan mengecup pipi dan keningnya secara berurutan. “Cantik sekali.”

Ia menarik Jaehyun mendekat, menangkup wajahnya sebelum memagut bibirnya beberapa saat. Kali ini senyumnya terukir lebih dalam, membuat wajahnya kelihatan lebih berseri saat kembali berdiri tegak dan menautkan kembali tangannya di antara jari-jemari Jaehyun yang hangat. “Kata-katamu membuat jantungku berdebar. Kau sengaja melakukannya, ya? Jangan melihatku begitu, aku malu.”

“Aku ingin memasukanmu ke dalam saku,” cetus Jaehyun, jelas tak memaksudkannya dalam konotasi negatif.

“Kenapa? Ini caramu menunjukkan sisi posesif? Dulu kau tidak begini,” kata Rose diikuti tawa meledek.

Jaehyun membuang pandangan ke samping, mengamati lukisan yang dipajang lalu menuturkan, “Dulu aku lebih naif. Sekarang aku tak perlu bersikap seperti itu. Apa lagi yang mau kututupi darimu?”

“Aku bahkan sudah melihat tahi lalat di pinggulmu,” tunjuk Rose dengan cara yang membuat Jaehyun terkekeh geli. Ia ikut tertawa, lalu kembali melihat karya-karya di depannya sambil menggandeng lengan Jaehyun dengan erat. “Sejujurnya aku tidak paham arti di balik karya-karya ini. Tapi aku datang denganmu, jadi aku merasa bahagia. Bukankah itu poin terpentingnya, sayangku?”

“Iya, poinnya memang itu,” jawab Jaehyun setuju.

Ekor matanya melirik ke samping, selama beberapa saat hanya mengamati gerak-gerik kekasihnya hingga ekspresi ceria yang selalu ia tunjukkan. Tapi di balik keceriaan itu, Rose terlihat sangat lelah dan beberapa kali menunjukkan indikasi kecemasan berlebih. Ia akan mengerjap dan kelihatan tegang tiap kali suara asing terdengar dari belakang—seolah khawatir kalau orang lain akan mengenalinya.

Winter Spring ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang