Chapter Fifty

2.3K 235 44
                                    

Heyaaa, so happy that I can finally publish this chapter 😊😊😊

Chapternya lumayan panjang, jadi pastiin kalian bawa amunisi entah makanan atau tissue barangkali terharu. Jangan lupa kasih vote dan komentar yaaa. Selamat membaca ^^



“Home is people. Not a place. If you go back there after the people are gone, then all you can see is what is not there any more.”
—Robin Hobb—

Panggilan diakhiri tanpa permisi. Eunwoo yang duduk di sudut kafe memandang layar ponsel dengan tatapan menghakimi—Jaehyun baru saja menutup panggilan telpon darinya secara tidak hormat. Mungkin Jaehyun hanya sibuk, sebab tidak seperti dirinya, sahabatnya itu punya kekasih yang bisa membuat harinya tetap hangat. Eunwoo melengguh, berusaha meredam perasaan dongkol yang memenuhi benaknya.

Meskipun tidak punya kekasih, tapi Eunwoo tidak pernah merasa kesepian. Ada terlalu banyak pekerjaan yang harus diselesaikan dalam waktu singkat sampai-sampai ia tidak memiliki waktu untuk meratapi kehidupan asmaranya yang hampa. Selain itu—tatapannya berpindah pada gadis muda di depan—Minjeong juga selalu keluar dengannya tiap akhir pekan atau tiap kali mereka punya waktu luang sehingga hidupnya nyaris tidak pernah hambar dan tanpa warna. Eunwoo selalu merasa repot dan tidak pernah sepi masalah.

“Kau sedang memandangiku, ya? Bukankah aku sangat cantik?” tanya Minjeong sambil menempatkan kedua tangan di bawah dagu. Senyum yang tampak seperti bunga di musim semi itu terukir, membuat pria yang duduk sambil meminum hot americano di sudut kafe berdelik.

“Ada remahan roti di sudut bibirmu,” kata Eunwoo sambil menyodorkan tissue ke hadapan Minjeong. Tentu saja dia tidak akan bersikap romantis seperti para pria dalam drama—bukan gayanya dan tindakan seperti itu hanya akan membuat adik kawannya salah paham.

“Pemeran utama pria dalam novel dan drama romansa akan selalu mengambil inisiatif dan membersihkan remahan seperti ini; bukannya malah menyodorkan tissue dan meminta si heroine melakukannya sendiri.” Minjeong menggerutu.

“Sayangnya aku kekurangan material sebagai pemeran utama,” sahut Eunwoo sambil mengedikkan bahu dan tersenyum lebar.

“Hah, memang tidak bisa diharapkan.”

“Harapan ibuku saja tidak bisa kupenuhi apalagi harapanmu,” kata Eunwoo dibarengi tawa miris.

“Tiba-tiba saja aku merasa kasihan pada bibi. Kita harus langsung pulang setelah film selesai.”

“Dia hanya akan menyindirku, sebaiknya kita pulang ke rumahmu saja.” Eunwoo memberikan saran yang segera ditolak mentah-mentah oleh Minjeong. Sudah bisa ditebak, gadis itu akan selalu berpihak pada ibunya.

“Tidak bisa, aku sudah janji akan membawamu pulang. Bibi kan merindukanmu. Selain itu malam ini kita juga ada acara makan malam untuk perpisahan Jaemin kan—dia akan pindah besok Senin. Sebagai anak yang baik luar-dalam, kau juga tidak boleh mengabaikannya begitu saja hanya karena terus menerus dituntut untuk menikah dan berkeluarga. Kalau kakak memang belum ingin menikah, maka beritahukan itu pada bibi, dia pasti mengerti. Pada akhirnya, tidak ada tempat berteduh yang lebih nyaman daripada pelukan hangat seorang ibu; meskipun dalam kasusku aku akan mengganti ‘ibu’ dengan ‘Kak Jaehyun’ karena dia yang merawatku,” terang Minjeong sangat santai. Ia tidak memiliki ikatan batin apapun dengan ibunya, sehingga kehilangannya sama sekali tidak membuat Minjeong sedih.

Winter Spring ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang