Chapter Thirty Eight

1.8K 267 84
                                    

I know some parts before this had hurt you so much, and we will have something like season break after this chapter, but this is not the end. I wish you can love some drama tho I won't pour to much into this one.

Leave some comments, okay? Love you! Enjoy the chapter~



“Sometimes the hardest part isn’t letting go but rather learning to start over.”
—Nicole Sobon—

Rose berlari dengan langkah cepat tak beraturan saat mendengar bel dibunyikan. Air muka yang semula keruh kini mendadak jernih—ia mengharapkan Jaehyun berdiri di balik pintu membawa permintaan maaf dan pelukan. Satu-satunya orang yang mengetahui alamat rumah barunya selain Presdir Park adalah Jaehyun; oleh karena itu Rose merasa sangat senang saat tangannya mulai meraih knop, mengantisipasi suka cita yang sama dari orang di balik pintu.

Tapi senyum di wajahnya seketika menghilang saat orang yang berdiri di balik pintu bukanlah pria yang selama beberapa hari ini ia rindukan. Itu hanya Ryujin—kelihatan sedih dengan mata merah dan raut kusut. Rose bergeming, menyadari ada hal yang aneh dengan situasi saat ini. Ia tak ingat pernah berbagi alamat dengan orang selain Jaehyun, lalu kenapa Ryujin bia mengetahuinya? Kenapa pula gadis itu harus datang ke Seongdong-gu pukul delapan malam padahal dia tidak suka udara dingin? Dan kenapa Ryujin harus menangis sekaligus marah di waktu bersamaan?

“Kenapa ponselmu mati? Kakak tahu berapa banyak kesulitan yang harus kuhadapi karena selama lima hari ini kau tidak bisa dihubungi? Aku sampai harus diantar kakek untuk bertemu Presdir Park dan menanyakan alamatmu. Ya Tuhan... kau bahkan tidak tahu kalau Mentor Jung dan dua adiknya menghilang. Kak Jeno terus menghubungi Kak Hyunjin, dia menanyakanmu, tapi kami juga tidak bisa memberikan informasi apapun. Aku tidak berani datang ke rumahmu karena Direktur Park dan tunangannya membuatku takut.” Ryujin bicara di tengah isak tangis yang membuat beberapa kata terdengar kurang jelas.

Ekspresi Rose membeku, begitu pula dengan tubuhnya yang mendadak kaku. Air mata jatuh tak terbendung dan kakinya mendadak lemas sehingga satu-satunya respon yang bisa Rose berikan hanya, “Kau bercanda?”

“Apa aku kelihatan sedang bercanda? Untuk apa aku menjadikan hidup orang lain sebagai candaan?” sentak Ryujin sebelum ikut berjongkok di hadapan kakak sepupunya. Tangannya mengguncang tubuh Rose, berusaha membuat perempuan itu lebih kuat dan sadar. “Beberapa menit lalu Karina bilang kalau Jaemin menghubungi Kak Jeno lewat telpon di kantor polisi. Aku tahu ini kedengaran rumit, tapi kejadiannya memang begitu, mereka ada di Busan dan sangat membutuhkan bantuan. Belum ada informasi apapun tentang kondisi Minjeong; Jaemin hanya bilang kalau mereka dikurung di Pelabuhan Busan dan kondisi Mentor Jung semakin buruk karena luka tembak di perut. Bawa barang yang penting saja, kita ke sana sekarang. Kak Hyunjin dan Tuan Seo ada di bawah—dia supir paling cepat di antara supir lain yang kami miliki. Tidak bisa pakai kendaraan umum, semua tiket sudah habis, jadi kita harus bergegas supaya bisa membantu.”

“Tunggu... apa ini... kenapa tiba-tiba sekali?” Rose masih duduk di ambang pintu, air mata berderai menuruni pipi. Sulit memahami semua berita yang Ryujin bawa sekaligus; ia menjadi sangat ketakutan. Pikiran Jika Jaehyun tidak baik-baik saja membuat seluruh saraf tubuhnya lemas. Bahkan mengedipkan mata pun terasa sangat sulit.

“Tidak ada waktu lagi!” Ryujin meraung frustasi. Gadis itu mengucapkan maaf sebelum berjalan melewati Rose—masuk ke dalam penthouse yang gelap kemudian bergegas kembali dengan mantel dan ponsel. “Aku tidak tahu kakak mau pergi ke mana dengan celana jeans dan sweater rancangan desainer ternama, tapi itu bagus karena kakak tidak harus ganti baju. Dan jangan simpan ponselmu di laci dalam keadaan mati, ini barang penting, kau ketinggalan banyak informasi. Sekarang ayo bangun dan kita pergi. Pakai dulu mantel, udara di luar sangat dingin.”

Winter Spring ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang