Chapter Nine

3.1K 387 146
                                    

Aloha... selamat hari Senin :)

Tadinya nggak akan ngeunggah hari ini, tapi kayaknya kalau besok bakal sedikit kelamaan jadi ya aku unggah sekarang. Terus biar minggu ini bisa keunggah empat chapters aja gitu. Hehehe

Dan kawan-kawanku yang baik, aku mau ngingetin, kalau chapter kali ini juga sangat tidak kid friendly. Terus kalau ada bagian yang nggak kalian suka, silahkan skip aja. Tapi jangan lupa vote dan komen ya karena voment itu gratis. Jadi kayak yutuber deh saya. Hehehe

Selamat membaca~



“Every man has his secret sorrows which the world knows not; and often times we call a man cold when he is only sad.”
—Henry Wadsworth Longfellow—

Jaehyun merapatkan jaket saat angin malam berhembus semakin tajam, menusuk kulitnya yang mulai memucat. Jam sudah menunjukan angka sebelas lewat dua belas menit, membawa malam ke puncak dan menuju hari yang dinanti banyak orang—meskipun Jaehyun tidak pernah jadi salah satunya.

Bagi Jaehyun, tanggal 14 Februari selalu jadi salah satu hari yang paling ia benci sepanjang tahun. Rasanya seperti diingatkan tentang tragedi yang membawa hidupnya sampai ke titik ini: ia membenci hari kelahirannya dan semua omong kosong yang pernah diberitahukan ibunya.

Wajahnya sedikit terangkat, mengamati langit yang kelam. Menjalani koas, belajar, bekerja, dan berkencan pada waktu bersamaan benar-benar melelahkan. Meskipun sudah terbiasa, tapi bukan berarti itu tidak suliit. Napasnya berhembus lemah—membawa keluar sedikit rasa lelah yang menumpuk karena sejak membuka mata dini hari tadi, Jaehyun sama sekali belum memejamkan mata lagi. Meskipun Jaehyun tak akan mengatakan keinginannya, tapi dia tak ingin melewatkan waktu untuk bertemu Rose malam ini kendati tubuhnya terasa lelah dan hampir remuk. Pemuda itu bahkan membawa sesuatu yang baru pertama kali dia beli di apotek—dengan ekspresi kaku dan wajah tersipu.

Kakinya menendang angin—seolah ada sesuatu yang mengganggunya di sana—sebelum mengangkat wajah saat suara perempuan yang ia rindukan memanggilnya. Jaehyun menahan senyum, tak mau menunjukkan terlalu banyak emosi pada Rose yang memandangnya dengan ekspresi antusias dari balik mobilnya. Untuk beberapa alasan yang agak konyol dan kekanakan, Jaehyun masih enggan menunjukkan warna asli hatinya pada Rose yang selalu secara terang-terangan mengakui perasaannya. Itu membuatnya merasa kalah meskipun Jaehyun tidak sedang berkompetisi dengan siapapun.

“Hi handsome, waiting for someone to hit you up?” teriak Rose membuat beberapa orang mengalihkan pandangan padanya. Jaehyun tertawa—secara tak terduga—pria itu sedikit berlari menghampiri Rose, kemudian mengulurkan tangan untuk mengusap puncak kepalanya. Itu juga gerakan spontan yang tidak ia rencakan. “So the one who hitted first was you. I was impressed! You look handsome despite your tired face, my love. Come here, Jaehyun.”

“Kau juga kelihatan lelah. Mau aku yang menyetir?” Tawaran Jaehyun mendapat penolakan, membuatnya bertanya sekali lagi, “Kau yakin? Aku tidak akan memberikan penawaran lagi setelah ini.”

Rose memberikan anggukan mantap. “Sangat yakin. Sekarang cepat masuk. Aku punya sesuatu yang sangat spesial untukmu.”

“Jika kau mau bilang itu dirimu, aku akan pulang.” Jaehyun berbalik, pura-pura akan pulang.

“Sial. Bagaimana kau bisa tahu? Lalu, apa kau benar-benar akan pulang? Meskipun aku sudah pergi berbelanja saat kaki dan pinggangku masih sakit karena kau melakukannya terlalu keras?” dengus Rose, matanya sedikit melotot tak percaya.

Winter Spring ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang