Chapter Five

2.8K 431 133
                                    

Halooo... Tadinya mau dipublish kemarin, cuma kemarin ada laporan tambahan yang harus direview dan beres malem itu juga.

There's something sweet in the end. Jadi baca dengan baik dan tinggalin voment yaaa~



“One day you will ask me which is more important? My life or yours? I will say mine and you will walk away not knowing that you are my life.”
—Khalil Gibran—

Jaehyun berjalan dengan langkah panjang dan cepat, meninggalkan Rose yang berjalan di belakang dengan langkah tertatih. Rose tak bisa menanyakan apapun, ia hanya mengikuti Jaehyun setelah diberitahu Minjeong pingsan dan berdarah. Air mukanya kelihatan keruh, ketenangannya memudar, menyisakan Jaehyun dalam kepanikan dan kekalutan yang tak bisa diredakan. Bahkan saat ia setuju untuk diantar oleh Rose sampai ke rumahnya, Jaehyun hanya menangkup muka sambil menggumamkan beberapa kata yang terdengar seperti, ‘kumohon’, dan, ‘bertahanlah’, secara berulang.

Langkah Jaehyun terhenti tepat sebelum ia memasuki rumahnya. Ia berbalik, mengamati Rose yang sempat tertegun selama beberapa saat ketika melihat bangunan usang di depannya. Jaehyun ingin menyunggingkan senyum miris, kemudian mengatakan kalau Rose sebaiknya pergi karena tempat kumuh yang ia tinggali bersama adik-adiknya jelas tak sesuai untuk Nona Muda kaya raya seperti dirinya. Tapi, tanpa disangka, Rose justru segera melangkah setelah mendapat validasi bahwa petak kecil di hadapan Jaehyun itu memang rumahnya. Dia kelihatan yakin—sama sekali tak menunjukkan ekspresi jijik atau tak nyaman karena berada di lingkungan asing yang tak pernah dia sangka akan ada sebelumnya.

“Kau tidak masuk? Minjeong membutuhkanmu,” kata Rose sedikit meninggikan suara. Perempuan itu masih berdiri di ambang pintu, mengamati Jaehyun lamat-lamat.

“Pulanglah,” desis Jaehyun. Tangannya memegang lengan Rose, sementara tatapannya yang dipenuhi kesedihan dan kekalutan menyapu wajah perempuan di hadapannya. “Kau tidak seharusnya di sini. Ini tempat yang buruk, kau mungkin—”

“Kau mau bertengkar sekarang?!” Rose memekik sebelum menangkup wajah Jaehyun dengan kedua tangannya yang terasa dingin. “Bukannya wajar kalau pacarmu datang untuk membantu? Selain itu, terkait Minjeong, ada beberapa hal yang mungkin hanya bisa dipahami olehku sebagai sesama perempuan. Jangan terlalu banyak berpikir. Saat ini... pengalamanku mungkin lebih dibutuhkan daripada pengetahuanmu.”

Jaehyun menghela napas, kemudian mempersilahkan Rose untuk masuk. Jeno dan Jaemin yang menangis sesenggukan melongo dengan ekspresi bingung saat melihat seorang perempuan berambut pirang panjang dan kelihatan kaya masuk ke rumah kecil mereka. Keduanya tak sempat bertanya, hanya duduk sambil memandangi Rose dan Minjeong secara bergantian.

“Kakak...” Minjeong melengguh pelan. Pelupuk matanya yang basah terbuka—memandang Jaehyun. Kedua tangannya menekan perut, seolah berusaha mengubur rasa sakit yang membelenggu di sekitar sana.

Rose menyentuh punggung tangan Minjeong sebelum merogoh tasnya—mengeluarkan sesuatu yang membuat tiga laki-laki di sekitarnya tertegun. “Minjeong, aku bisa memasangkannya untukmu. Awalnya memang terasa mengganjal, tapi kau membutuhkannya. Ah, adik ipar, bisakah kalian membeli ini di apotek?”

Jeno dan Jaemin menunjuk diri mereka masing-masing, seolah memastikan jika perempuan yang kelihatan sangat mahal dan tidak nyata itu memang berbicara pada mereka. Keduanya tertegun—setengah terpukau saat Rose memandang mereka, kemudian memberikan ponselnya tanpa ragu kendati dua laki-laki itu hampir menjatuhkannya karena itu terlihat sangat mahal.

“Tunjukan itu, kalian mungkin tidak tahu. Ah, kata sandinya adalah ulang tahun kakak kalian. Ponsel itu akan terkunci setelah tiga menit. Sekarang cepat pergi! Minjeong mengandalkan kalian!”

Winter Spring ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang